Pidato Kebudayaan Mochtar Lubis Menguak Enam Sifat Manusia Indonesia

By , Rabu, 10 Agustus 2016 | 17:00 WIB

Sejumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia hingga kini dilakukan tak hanya oleh pimpinan, namuna juga merambah ke pekerja bawahan mereka. Dari kasus tersebut, diduga ada sistem bagi hasil dari keuntungan yang didapat dari aksi korupsi mereka.

Salah satu kalimat familiar yang ada di tengah masyarakat perkotaan seperti Jakarta, terutama kalangan menengah ke bawah adalah "Saya hanya melaksakan perintah dari atasan." Pernyataan tersebut hingga kini masih melekat pada banyak oknum keamanan untuk sekedar menutupi hati nurani mereka.

3. Jiwa Feodal

Salah satu tujuan dari revolusi kemerdekaan Indonesia adalah membebaskan manusianya dari feodalisme. Namun pada kenyataannya, bentuk-bentuk feodalisme baru terus bermunculan hingga kini.

Sikap-sikap feodalisme dapat kita lihat dari bagaimana pemerintah kita dalam urusan jabatan, banyak yang masih mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya. Jiwa feodal ini tumbuh subur tak hanya di kalangan atas, namun juga bawah.

Masalah feodalisme ini tidak lepas dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia kini. Politik 'bagi kursi' atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satunya.

4. Percaya Takhayul

Ciri yang satu ini tak lepas dari kebudayaan dan tradisi bangsa Indonesia. Mereka masih percaya benda-benda disembah untuk memperoleh berkah. Tak jarang nyawa pun dipertaruhkan sebagai bagian dari persembahan.

Sampai saat ini pun, kita masih melihat secara nyata bagaimana banyak program televisi yang menayangkan hal-hal berbau magis dan gaib. Nyatanya, hal tersebut masih saja menghibur manusia Indonesia saat ini.

Tak hanya tayangan berbau takhayul, pengobatan yang mengandalkan dukun dan sihir pun masih terus dilakukan oleh masyarakat daerah di Indonesia. Kepercayaan itu terus dilakukan meski tak ada penelitian yang mampu membuktikan keabsahannya.

Pendidikan menjadi salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikirian-pemikiran tersebut. Dengan pengetahuan yang memadai, hal tersebut akan mampu lebih dikaji ulang agar mampu diterima secara logika.

5. Artistik