Mengapa Kita Bersin Saat Terkena Cahaya Matahari?

By , Kamis, 25 Agustus 2016 | 13:00 WIB

Pernahkah Anda mengalami bersin-bersin hebat sesaat setelah melangkah keluar dari ruangan gelap dan terkena sinar matahari? Padahal sebenarnya Anda tidak sedang flu atau kedinginan.

Jika menjawab “Ya”, berarti Anda termasuk dalam 20-35 persen populasi manusia dunia yang menjadi korban sindrom “bersin cahaya” atau dikenal juga sebagai photic sneeze reflex (PSR).

Mengapa beberapa orang bisa mengidap sindrom tersebut? Bagaimana bisa cahaya membuat orang bersin-bersin?

Fenomena ini sebenarnya sudah dikenali sejak lama. Filsuf Yunani kawakan, Aristoteles, pada tahun 350 SM pernah mengutarakan pertanyaan “Mengapa sinar matahari memicu bersin?” dalam The Book of Problem. Itulah bukti tertulis pertama tentang PSR. 

Menurut teori Aristoteles, hangatnya sinar matahari menyebabkan hidung dan mulut lembap serta berkeringat. Kondisi inilah yang memicu bersin.

Tetapi pada abad ke-17, ilmuwan bernama Francis Bacon menyanggah teori Aristoteles. Ia membuktikannya dengan cara menatap matahari dengan mata tertutup. Cara itu, membuatnya tak bersin. Ia menyimpulkan bahwa menatap matahari membuat mata kita berair, yang mengalir turun ke hidung dan dapat menyebabkan bersin.

Teori Bacon kemudian juga dibantah oleh beberapa ilmuwan lain. Sebab bersin terjadi seketika setelah kita terpaan cahaya matahari. Sementara mata membutuhkan waktu beberapa saat untuk berair.

Fenomena ini tak lagi diteliti hingga hampir 350 tahun kemudian. Akhirnya, studi pada 1964 mulai menguak penjelasan ilmiah tentang PSR. Bersin cahaya sebenarnya terkait dengan genetik.

Studi menunjukkan bahwa sindrom tersebut bersifat autosomal dominan. PSR akan timbul meskipun hanya terdapat satu gen yang bawaan dari salah satu orang tua. Sebagai perbandingan, penyakit autosom resesif akan muncul saat seorang individu memiliki dua gen  bawaan.

Dengan kata lain, jika orang tua merupakan pengidap sindrom bersin cahaya, maka probabilitas anaknya menderita sindrom serupa adalah sebesar 50 persen.

Penelitian lebih lanjut tentang PSR dilakukan oleh Roberta Pagon pada tahun 1978. Dalam konferensi yang membahas tentang cacat lahir, Roberta Pagon bersama rekan-rekan doktor lainnya meneliti dan membahas tentang bersin cahaya.

Mereka menemukan bahwa frekuensi bersin cahaya dalam satu keluarga cenderung sama, namun berbeda jika dibandingkan dengan keluarga lain.

“Ada keluarga yang frekuensi bersinnya tiga kali, sementara ada juga yang lima kali atau hanya sekali,” ujar Pagon.