Ban Na Ton Chan, Desa Thailand dengan Kearifan Lokal nan Kental

By , Senin, 29 Agustus 2016 | 20:00 WIB

“Kami terkurung daratan. Tidak ada pantai, tidak ada air terjun,” kata wanita enerjik berusia 60 tahunan dengan lipstik merah muda di bibirnya.

“Tetapi kami punya kearifan lokal. Itulah daya tarik kami.”

Bibi Ngiem berbicara tentang lumpur.

Di Desa Ban Na Ton Chan, Thailand, penduduk lokal berlalu lalang dengan sepeda dan skuter. Buah naga berwarna merah dan hijau bergelantungan pada tangkai pohonnya yang banyak terdapat di luar rumah terbuka berlantai tanah. Di rumah-rumah itu, para wanita sering terlihat menenun menggunakan alat persegi panjang yang sangat besar. Dengan menggunakan benang kapas yang dicelup dalam cairan kulit manggis dan kulit nangka, mereka membuat tekstil dengan berbagai pola.

Kemudian, mereka mencelupkannya ke dalam lumpur.

“Kami merendamnya sepanjang malam,” kata Ngiem. Dengan santai, ia menarik sepotong kain yang direndam dalam guci tanah liat berisi lumpur hitam di belakang pusat komunitas desa. Tempat ini berfungsi sebagai tempat operasional sekaligus toko cenderamata.

“Kemudian kami membersihkannya, dan merebusnya bersama garam. Ini membuat kain tenun jadi lembut,” katanya.

Saya membandingkan kain sebelum dan sesudah direndam lumpur. Tak ada keraguan. Lumpur tepian sungai di Ban Na Ton Chan merupakan pelembut andal.  

Dengan pemandangan yang dipenuhi oleh pegunungan hijau dan sawah, desa ini dapat dicapai dengan berkendara sekitar 90 menit dari Kota Sukhothai. Sebagian besar dari sekitar 200  keluarga di sini memiliki hubungan dengan nenek moyang Kerajaan Lanna dari utara Thailand yang tiba di sini beberapa abad silam.

Dalam 20 tahun terakhir, desa ini mengembangkan industri rumahan dari tradisi lokal, membangun beberapa homestay, dan akhirnya memengangkan penghargaan atas kegiatan berbasis masyarakat.

Setelah menghabiskan secangkir kopi di kafe desa, Ngiem mengajak saya berkeliling menggunakan sepeda selama satu setengah jam sebelum berhenti. Seorang wanita mengangkat wajahnya dari alat tenun yang sedang ia tekuni, dan tersenyum. Di ruang kosong sekitarnya, terdapat dua skuter motor, televisi dan tempat tidur kayu, sepasang hammock biru, baju-baju yang digantung, tempat cucian dengan panci, wajan, mangkuk dan cangkir yang ditumpuk di atas meja. Tidak ada dinding sama sekali.

Orathai, atau “pejuang malaikat”—sebutan untuk penenun dalam bahasa setempat—mengerjakan kain tenun setiap kali ada waktu, biasanya beberapa jam sehari. Alat tenunnya berupa bingkai kayu sederhana, dengan kursi papan di salah satu ujungnya. Sederet benang warna-warni dililitkan di sepanjang alat tenun. Saya menyaksikan manuver kaki telanjangnya pada empat pedal bambu di lantai. Orothai bertanya apakah saya ingin mencoba.

Kertas yang tergantung di hadapan saya berisi daftar pasangan angka (“1-2”, “1-4”, “2-3” dan seterusnya), dengan tanda urutan pedal yang harus diikuti selama menenun pola ini. Saya menginjak pedal, kemudian melewati kumparan kayu (disebut kras?wy dalam bahasa Thailand), di antara sela-sela ketat benang,lalu menarik kembali tongkat untuk mengencangkan tenunan sebelum membuat posisi pedal berikutnya. Rasanya seperti terapi bagi saya, semacam buku mewarnai untuk orang dewasa.

Setelah 10 menit menenun yang menenangkan, kami berjalan menyeberangi jalan, Orathai mengikuti, hingga sampai ke tempat dengan beberapa wanita sedang memasak sesuatu yang manis dari wajan raksasa yang berada di atas kayu bakar yang dijilati api.

Pemandu memberitahu saya bahwa mereka sedang membuat khao mao, cemilan tradisional. Mereka mencampurkan sejumlah besar santan, gula merah, beras yang dihancurkan kasar, dan kacang tanah yang ditumbuk menjadi cemilan lengket nan manis dan buru-buru mengemasnya ke dalam kemasan plastik bening.

Orathai melompat untuk membantu, kemudian menjatuhkan segumpal cemilan hangat di tangan saya. “Untukmu,” katanya dalam Bahasa Inggris.

“Sekarang gratis, tetapi Anda harus membayar setelah kami membungkusnya.”

Khao mao, cemilan tradisional yang terbuat dari nasi, santan dan gula merah. (Yaisura/Shutterstock via nationalgeographic.com)

Rasanya enak. Saya membeli sebungkus besar dengan harga kurang dari satu dolar, dan mengudapnya hingga seminggu ke depan.

Kami melanjutkan bersepeda melewati kuil Buddha dan rumah kecil. Di sana, saya bertemu lelaki tua berumur 89 tahun yang bertelanjang dada. Namanya Ta Wong, ia dikenal sebagai penjual mainan balok kayu.

Dia menunjukkan bagaimana cara kerja mainan. Dengan meremas dengan lembut dua pegangan datar yang mendorong patung pesenam di atas balok. Ta Wong menunjukkan sekitar 12 macam gerakan yang bisa ia buat. Saya membeli satu mainan seharga tujuh dolar.

Kembali ke pusat komunitas, saya segera mendapat pelajaran singkat dari ciri khas lokal lainnya: khao poep, sup kaldu yang terbuat dari kacang hijau, mie, taoge, selada, bawang putih dan telur kukus mata sapi yang tersebar di periuk tanah liat berisi air mendidih.

Saya membuat sendiri makan siang saya dalam waktu beberapa menit, dan menyantapnya bersama semangkuk kuaytiaw Sukhothai. Sup mie beras agak manis dengan daging babi. Keduanya amat lezat, dan harganya sekitar 25 baht.

Setelah makan siang, anak perempuan Ngiem mengajak kami berkendara dengan truk bak terbuka miliknya. Saya dan ngiem berdiri di bak belakang. Seusai melewati sungai, pemandangan menjadi lebih hijau dan liar. Kami melewati pohon-pohon karet dan tanaman lain ketika jalan menanjak bukit. Saya melihat seseorang tengah tidur siang di sebuah pondok panggung terbuka, tetapi sebagian besar yang kami lintasi adalah rumah-rumah pedesaan.

Sekitar 20 menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah panggung baru—homestay baru dijadwalkan akan segera dibuka. Ini benar-benar tempat yang indah. Melangkah ke rumah, terdapat hammock yang menghadap ruangan kecil dengan tempat tidur beralas tikar dan kelambu. Ruangan itu menghadap dek terbuka yang menampilkan puncak bukit dengan hutan dan pertanian subur. Tampak berbagai tanaman seperti labu, kacang panjang, jeruk Bali, kelengkeng, cabai, rambutan dan terong.

Hanya perlu waktu 45 menit untuk mendaki puncak bukit itu. Tetapi hari sudah terlalu sore. Kami hanya punya waktu untuk mengunyah beberapa buah naga segar dan durian, kemudian kembali ke Sukhothai.

Trip sehari di desa ini sangat luar biasa. Lain kali saya akan kembali dan menginap.

Tips perjalanan

- Perjalanan ke Ban na Ton Chan dapat dimulai dari Sukhothai, kota ini dapat dicapai dari Bangkok menggunakan pesawat atau bus.

-Pertimbangkan untuk bermalam. Homestay desa (tak termasuk aktivitas lokal) dikenakan biaya sekitar 700 baht (termasuk sarapan dan makan malam jika Anda memesan langsung).

-Salah satu homestay, Teerakan, memiliki akses Wi-Fi dan berada tepat di belakang sebuah kafe. Cobalah menginap di homestay baru yang saya sebutkan di atas.

-Akhir pekan merupakan satu-satunya waktu Anda dapat bertemu banyak turis di desa tersebut.