Anda Orang Jakarta atau Makassar?

By , Jumat, 9 September 2016 | 16:00 WIB

Jika ditanya pertanyaan yang sama dengan judul di atas, saya dengan percaya diri dan tebal suara sudah pasti menyatakan “Makassar-lah!” sebagai jawabannya. Walaupun dalam realita, saya ini lahir di Jakarta, KTP Jakarta, sekolah di Jakarta, tinggal di Jakarta, dan semuanya di Jakarta.

Lah, Makassar KW dong? Ya, memang demikian. Tetapi, boleh dikata KW-super. Bolehlah cek toko sebelah, Kakak.

Lalu, siapa yang Makassar? Mama–Papa. Kakek–Nenek. Buyut. Tetangga. Semuanya Makassar, yang lebih tepatnya lagi berasal dari suku Bugis. Mendengar kata pulang kampung”, sudah barang tentu daerah inilah yang menjadi destinasi utama.

Rumah milik keluarga kami memang ada di Makassar kota, namun kata pulang selalu berasosiasi dengan desa bernama Takalala. Desa itu masih berada dalam Kota Watansoppeng atau Soppeng, desa tempat kakek dan nenek saya menetap bersama anaknya, yaitu adik-adik dari Mama saya. Juga, kakek-nenek dari Papa juga berasal dari salah satu kampung di sana.

Dahulu, perjalanan pulang kampung hanya dihabiskan untuk bersantai di rumah nenek, bermain bersama soang peliharaan kakek, dan silaturahim dengan saudara-saudara. Namun, kali ini sungguh berbeda. Saya sudah menjadi orang yang terjangkiti virus traveling. Jadi perjalanan pulang kali ini dipenuhi dengan foto jalan-jalan di daerah yang seharusnya sudah mendarah daging ini. Simak sederet tempat yang saya kunjungi di Makassar.

1. Mengejar sunset Pantai Losari

Hampir semua orang yang bertandang ke Makassar pasti menyempatkan diri untuk berswafoto dalam pendaran surya terbenam yang cantik dan menarik perhatian. Saya sudah berkali-kali menikmati tenggelamnya surya di pesisir ini, namun selalu ada keinginan untuk kembali. Pemandangan matahari terbenam pantai Losari tidak pernah mengecewakan.

2. Wisata Kuliner

Makassar = kuliner = makanan enak. Ada putu bere’ atau putu beras yang dibeli dari tetangga di pagi hari, sungguh sedap dinikmati begitu saja dengan secangkir teh manis hangat yang airnya didihkan di tungku, atau dicocol ke abon ikan cakalang. Saya juga menyempatkan diri bersantap di Coto Nusantara tak jauh dari pusat keramaian Losari hingga  Coto Makassar di Soppeng. Bahkan, saya menambah buras (semacam lontong) hingga berbiji-biji.

3. Vila Juliana – Watansoppeng

Senyampang masih di Soppeng, saya berkunjung ke sebuah vila yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi museum. Konon, Vila Yuliana dipersembahkan sebagai tempat peristirahatan Ratu Juliana dari Belanda yang tengah berkunjung ke Sulawesi Selatan.

4. Foto Bersama Kalong di “Kota Batman”

Sejak zaman dahulu,  Watansoppeng terkenal sebagai “Kota Kalong”. Begitu menjejakkan kaki di tempat ini, udara akan terasa sedikit masam. Mungkin karena ribuan kalong yang bersarang di pohon-pohon besar seantero Soppeng, yang kerap membuang kotoran sembarangan. Entahlah, saya sejatinya pun belum pernah melihat kotoran kalong selama di kota ini. Apa pasal kalong memilih daerah ini sebagai otoritas tempat tinggalnya? Padahal, kota ini terbuka, terang, dan tidak gelap—berbeda dengan tempat bermukim kalong. Tidak ada seorang pun yang tahu pasti. Namun, orangtua saya pernah bercerita tentang sebuah legenda. Pernah pada suatu masa, semua kalong lenyap dalam sehari di Soppeng. Belakangan, orang-orang baru mengetahui bahwa peristiwa itu merupakan firasat: akan ada pohon tumbang.