Jika ditanya pertanyaan yang sama dengan judul di atas, saya dengan percaya diri dan tebal suara sudah pasti menyatakan “Makassar-lah!” sebagai jawabannya. Walaupun dalam realita, saya ini lahir di Jakarta, KTP Jakarta, sekolah di Jakarta, tinggal di Jakarta, dan semuanya di Jakarta.
Lah, Makassar KW dong? Ya, memang demikian. Tetapi, boleh dikata KW-super. Bolehlah cek toko sebelah, Kakak.
Lalu, siapa yang Makassar? Mama–Papa. Kakek–Nenek. Buyut. Tetangga. Semuanya Makassar, yang lebih tepatnya lagi berasal dari suku Bugis. Mendengar kata “pulang kampung”, sudah barang tentu daerah inilah yang menjadi destinasi utama.
Rumah milik keluarga kami memang ada di Makassar kota, namun kata pulang selalu berasosiasi dengan desa bernama Takalala. Desa itu masih berada dalam Kota Watansoppeng atau Soppeng, desa tempat kakek dan nenek saya menetap bersama anaknya, yaitu adik-adik dari Mama saya. Juga, kakek-nenek dari Papa juga berasal dari salah satu kampung di sana.
Dahulu, perjalanan pulang kampung hanya dihabiskan untuk bersantai di rumah nenek, bermain bersama soang peliharaan kakek, dan silaturahim dengan saudara-saudara. Namun, kali ini sungguh berbeda. Saya sudah menjadi orang yang terjangkiti virus traveling. Jadi perjalanan pulang kali ini dipenuhi dengan foto jalan-jalan di daerah yang seharusnya sudah mendarah daging ini. Simak sederet tempat yang saya kunjungi di Makassar.
1. Mengejar sunset Pantai Losari
Hampir semua orang yang bertandang ke Makassar pasti menyempatkan diri untuk berswafoto dalam pendaran surya terbenam yang cantik dan menarik perhatian. Saya sudah berkali-kali menikmati tenggelamnya surya di pesisir ini, namun selalu ada keinginan untuk kembali. Pemandangan matahari terbenam pantai Losari tidak pernah mengecewakan.
2. Wisata Kuliner
Makassar = kuliner = makanan enak. Ada putu bere’ atau putu beras yang dibeli dari tetangga di pagi hari, sungguh sedap dinikmati begitu saja dengan secangkir teh manis hangat yang airnya didihkan di tungku, atau dicocol ke abon ikan cakalang. Saya juga menyempatkan diri bersantap di Coto Nusantara tak jauh dari pusat keramaian Losari hingga Coto Makassar di Soppeng. Bahkan, saya menambah buras (semacam lontong) hingga berbiji-biji.
3. Vila Juliana – Watansoppeng
Senyampang masih di Soppeng, saya berkunjung ke sebuah vila yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi museum. Konon, Vila Yuliana dipersembahkan sebagai tempat peristirahatan Ratu Juliana dari Belanda yang tengah berkunjung ke Sulawesi Selatan.
4. Foto Bersama Kalong di “Kota Batman”
Sejak zaman dahulu, Watansoppeng terkenal sebagai “Kota Kalong”. Begitu menjejakkan kaki di tempat ini, udara akan terasa sedikit masam. Mungkin karena ribuan kalong yang bersarang di pohon-pohon besar seantero Soppeng, yang kerap membuang kotoran sembarangan. Entahlah, saya sejatinya pun belum pernah melihat kotoran kalong selama di kota ini. Apa pasal kalong memilih daerah ini sebagai otoritas tempat tinggalnya? Padahal, kota ini terbuka, terang, dan tidak gelap—berbeda dengan tempat bermukim kalong. Tidak ada seorang pun yang tahu pasti. Namun, orangtua saya pernah bercerita tentang sebuah legenda. Pernah pada suatu masa, semua kalong lenyap dalam sehari di Soppeng. Belakangan, orang-orang baru mengetahui bahwa peristiwa itu merupakan firasat: akan ada pohon tumbang.
Jadi, kepergian si kalong seakan-akan sebagai simbol datangnya petaka. Konon katanya, kalau orang luar terkena kotoran kalong, kelak dia akan mendapatkan jodoh orang Soppeng. Jangan lupa menyaksikan angkasa tatkala Magrib mengambang. Langit senja akan terlihat hitam karena kalong terbang bersamaan, melesat untuk mencari makan, dan akan kembali di waktu subuh.
5. Pemandian Alam Citta
Alam yang adem, pohon yang rimbun. Inilah bagian dari pemandian alam Citta yang terletak di Desa Citta, sekitar 35 kilometer sebelah timur Watansoppeng. Namun, sayangnya kolam yang bersumber dari mata air segar ini kurang terawat. Tembok kolam gompal, ataupun tembok bagian dalam kolam yang berlumut. Saya pun mengurungkan niat untuk mandi bak bidadari. Sekedar merendam kaki bersama keluarga. Ayo, para pemangku kepentingan dan pangreh praja, buatlah pemandian ini lebih elok. Saya pikir, tidak masalah jika harga tiket masuk dinaikkan. Toh, pada akhirnya demi keasrian pemandian dan kenyamanan pengunjung.
6. Pemandian Alam Banga
Dari arah Soppeng mari kita jokka jokka (jalan-jalan) ke arah Takalala, daerah rumah nenek saya, berlanjut hingga ke arah pasar dan sungai Cennae. Saya hendak mengunjungi pemandian alam Banga. Pemandangannya sungguh memanjakan mata. Awan putih bergulung-gulung di birunya langit yang memesona. Untuk menuju kolam, saya harus menuruni anak tangga—yang betapa cukup banyak. Lagi-lagi, seperti di pemandian Citta, kolam di sini juga tampat tidak terawat. Kolamnya juga terlihat gelap. Pokoknya, saya tak tertarik untuk mencebur. Belum lagi coret-coretan vandal yang tak kenal ampun. Tetapi, ada satu harta karun tersembunyi di sini: Banyaknya kupu-kupu yang beterbangan bagaikan di Taman Nasional Bantimurung!
7. Mengunjungi tempat lahirnya Arung Palakka
Kebetulan, daerah lahirnya Arung Palakka berada di Takalala, Kecamatan Marioriwawo—tempat tujuan saya pulang kampung. Ketika sampai, saya berfoto bersama patung Arung Palaka. Siapa itu Arung Palakka?
Arung Palakka, lahir pada 1634, di Soppeng. Dia merupakan Sultan Bone yang menjabat pada akhir abad ke-17. Sebelum dia menjabat sultyan, Palakka memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada 1666. Untuk mencapai kejayaannya, dia pun bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar. Dia wafat di Bontoala, pada 1696.
Saya pun berlagak menjadi anak desa dengan bersepeda sore di sekitar lapangan Takalala, sambil menonton bola. Juga, naik delman ke pasar yang buka hanya pada hari Selasa dan Sabtu. Itulah cerita saya tentang pulang kampung. Bagaimana cerita Anda tentang pulang? Bahagia? Sedih? Haru? Mari pulang untuk bertemu orang-orang tersayang.