Berlibur tanpa didukung aktivitas petualang rasanya tidak cukup memuaskan hati. Terlebih lagi bagi Anda para petualang sejati yang menaruh rasa kagum kepada tanah air Indonesia. Kekayaan alam yang sangat sayang bila hanya dinikmati lewat foto membuat rasa penasaran membuncah untuk terjun langsung di dalamnya.
Dalam perjalanan ini, kami akan mengajak Anda menuju suatu wilayah di Indonesia dengan topografi yang unik. Terbentuk dengan kondisi geologi yang didominasi oleh karst, tebing curam, dan dinding tegak vertikal membuat wilayah ini menyimpan 1001 rahasia kehidupan bawah tanah yang wajib untuk diungkap.
Mari menjelajah Lo’ko (Gua) Bubau yang terletak di Kabupaten Enrekang, berjarak kurang lebih 230 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan panjang dari Makassar menuju Enrekang kurang lebih menghabiskan delapan jam. Tak perlu khawatir dirundung rasa bosan, karena usai melewati gapura Kabupaten Enrekang,
Penelusuran akan segera berakhir usai menaiki tangga yang dibuat oleh warga pada tahun 2012 lalu. Di sebelah kanan terlihat cahaya yang menerobos masuk siap menuntun kembali ke peradaban. (Sekar Rarasati)
Anda akan disuguhi kemegahan hamparan karst yang mengunci pandangan mata. Momen yang tidak boleh Anda lewatkan adalah menikmati perjalanan dari Panorama menuju Kecamatan Baraka. Kunci pandangan Anda ke arah kanan agar tak melewatkan rayuan dari Nona yang memiliki lekuk lembah gunung yang menurut warga visualnya menyerupai alat genital perempuan. Satu hal lagi yang menjadi bonus bila melakukan perjalanan di kala kemarau adalah lembah dan bukit-bukit yang diselimuti warna cokelat keemasan, meski gersang kawasan ini tetap menarik untuk diamati.
Sesampainya di Baraka kami harus berganti mobil untuk menuju Lo’ko Bubau. Amar, seorang driver hardtop yang siap mengantar kami mengatakan bahwa jalan yang harus ditempuh bukanlah aspal pada umumnya. “Nanti kita jumpa batu-batu sebesar ini,” ujarnya sembari menunjuk ban mobil kami yang siap melaju.
Perjalanan yang mengguncang
“Masih setengah jalan lagi,” ujar Amar memprediksi sisa waktu tempuh kami. Perlahan kami meninggalkan Parinding dan Banti, dua desa yang masih memiliki infrastruktur yang memadai, jalan yang kami lalui selama 30 menit adalah aspal dan masih terdapat rumah-rumah warga yang memadati desa keduanya.
Tetapi bersiaplah ketika Anda mulai melihat papan penunjuk arah menuju Desa Kadingeh. ‘Batu sebesar mobil’ yang dikisahkan Amar bukanlah hiperbola. Tak jarang kami harus bergelantungan pada atap mobil agar tak terlempar ke kanan atau ke kiri. Guncangan demi guncangan kami rasakan setiap kali mobil menukik dengan berani. Sekadar tips bagi Anda yang tidak terbiasa dengan guncangan-guncangan hebat pastikan tidak mengisi perut terlalu penuh untuk mengurangi rasa mual.
Berbeda dengan posisi duduk kawan-kawan, saya memutuskan untuk berselonjor di bangku belakang dan membelakangi mereka. Sedikit lebih nyaman duduk di posisi ini, sembari menikmati mobil yang terus bergoyang, saya dapat mengamati jalan yang perlahan kami tinggalkan. Berbeda dengan dua desa sebelumnya, Kadingeh bukanlah desa yang padat penduduk. Selama melewati desa ini jarang saya temukan rumah warga yang bertengger, melainkan hewan-hewan ternak yang sedang berteduh dari terik matahari. Perjalanan ini lekat dengan debu dan tanah kering yang berhamburan oleh gesekan kaki-kaki mesin tua yang kami kendarai, meski demikian menjadi bumbu yang menggugah semangat perjalanan kami sebagai seorang petualang.
Salah satu stalagmit yang menghuni Gua Bubau menyerupai kumpulan manusia yang telah merunduk. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa usia gua ini. (Sekar Rarasati)
Ujung jalan menjadi pemberhentian kami selanjutnya. Tepat di pos ini kami meninggalkan mobil untuk menuju mulut Lo’ko Bubau, kurang lebih sekitar 500 meter lagi yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki. Dituntut harmonisasi antara derap langkah dan pandangan mata untuk menerobos semak belukar yang menghadang. Suara air yang mengalir deras terdengar tak jauh dari lokasi ini. Hal lain yang menarik perhatian kami adalah hamparan lahan yang hangus terbakar. “Dua minggu lalu saya datang belum terbakar seperti ini,” ujar Darwin, warga Baraka yang bersedia memimpin kami untuk menyusuri Lo’ko Bubau. Semestinya lokasi ini menjadi bagian dari 40% kawasan lindung yang dikonservasi oleh Pemerintah, tetapi pemandangan sekitar menunjukkan lemahnya pengawasan.
Bau yang tak sedap