Mulut Gua Bubau sudah ada di depan mata kami, sesuai dengan makna dari nama yang disematkan, gua ini memang mengumbar bau yang tak sedap. Menurut warga, bau tak sedap ini berasal dari kotoran kelelawar yang menumpuk di dalam. Beberapa kali kami mendapati kelelawar menerobos keluar dari dalam gua. Berdiameter kurang lebih delapan meter dengan tinggi lima meter dan dihiasi oleh stalaktit yang meruncing menghadirkan nuansa misterius.
Sebelumnya pada tahun 2012, setelah gua ini ditemukan, warga sempat menjadikan Lo’ko Bubau sebagai destinasi wisata yang terbuka untuk umum. Para pengunjung diperbolehkan masuk dengan biaya sewa penerangan lampu senilai Rp 25,000. “Masuk ke tahun 2013 ribuan orang datang ke sini,” tambah Darwin. Selama setahun ribuan orang yang beruntung mendapatkan kesempatan menyusuri Bubau. Sayangnya pihak pengelola yang mengesampingkan keselamatan gua membuat kondisi Lo’ko Bubau memburuk dan tak terawat.
Usai menjadi lokasi wisata yang digandrungi pengunjung selama setahun gua ini beralih fungsi sebagai lokasi pendidikan pecinta alam. Strategis dengan sungai yang mengalir tak jauh dari mulut gua membuat Bubau menjadi lokasi langganan pelatihan survival.
“Gua ini sudah mati. Lihat, ini (stalagmit) mati karena disentuh oleh manusia. Sentuhan itu membawa mikroorganisme yang dapat membunuh pertumbuhan stalaktit ataupun stalagmit,” ujar Darwin sembari menyorot stalagmit dengan cahaya lilin. Kami menyusuri gua dengan penerangan yang sederhana, berbekal senter dan lilin kami mencoba mengamati isi Lo’ko Bubau.
Masih 500 meter lagi jalan yang harus ditempuh menuju mulut Gua Bubau. Dibutuhkan kehati-hatian untuk menerobos semak belukar yang menghadang. (Sekar Rarasati)
Tanah liat, batu gamping, dan air adalah tiga unsur yang pasti kami jumpai. 10 menit pertama penyusuran kami lalui dengan mudah, berkawan gemericik air yang menetes dari stalagmit dan aliran sungai yang menggenang semata kaki kami. “Kalau musim hujan airnya bisa menyentuh pinggang,” ujar Darwin. Tak jarang kami harus menyerahkan diri pada genangan air yang terlalu dalam dan sulit untuk dihindari.
Minimnya penerangan membuat kami harus merasakan keindahan gua dengan mengedepankan seluruh indera. Sesekali kami mengarahkan seluruh senter ke atap gua, tersorot beberapa salagmit berwarna merah kekuningan yang masih meneteskan mineral. Ada pula yang berwarna putih dan bentuknya menyerupai segerombolan orang yang sedang bersimpuh. Ornamen-ornamen ini terbentuk dengan alaminya, di antaranya stalagmit dan stalaktit beradu hingga membentuk pilar yang menghadang. Sayangnya sejak gua ini ditemukan belum ada pihak yang bersedia melakukan penelitian secara resmi, sehingga belum diketahui secara jelas berapa usia Bubau.
Membutuhkan kesabaran untuk menyusuri Gua Bubau karena tidak ada petanda khusus yang menandai seberapa jauh perjalanan yang kami tempuh. Usai melewatkan 90 menit pertama perjalanan kami harus terhenti, di antara bisikan-bisikan kelelewar yang terganggu tidurnya. Jalan yang dilalui pemimpin kami saat dua minggu lalu kini tak terlihat. “Longsor!” pekik Darwin kepada teman-teman komunitas yang turut mendampingi kami. Sebelumnya Darwin memang sempat menjelaskan kepada kami bagaimana aktivitas di luar gua yang dilakukan oleh warga telah merusak kehidupan bawah tanah ini. Pembakaran lahan dan buruknya pengelolaan kawasan lindung menyebabkan Bubau kerap longsor. Begitu juga dengan stalaktit sebesar balita yang kami temukan terguling di tengah perjalanan.
Pencarian jalan keluar baru dilakukan oleh Darwin dan kawan-kawan. Mereka mencoba mencari celah di segala penjuru, berharap menemukan sinar matahari yang menerobos masuk dan menuntun kami untuk keluar. Setelah 30 menit berlalu akhirnya angin segar menghampiri kami. Jalan alternatif yang siap membebaskan kami akhirnya ditemukan, kesabaran ini menyelamatkan kami dari niat untuk menyusuri jalan yang telah dilalui.
Angin menerobos, menandakan bahwa mulut gua sebentar lagi kami akan jumpai mulut gua. Semangat kembali membuncah untuk merayakan keberhasilan kami dalam menyusuri Gua Bubau dengan selamat. “Naik ke tangga!” suara itu terdengar sebelum langkah terakhir saya keluar dari lorong yang cukup sesak untuk dilewati satu orang. Akhirnya kami melihat cahaya itu, mereka yang menerobos masuk dan siap menuntun kami untuk keluar. Satu per satu kami menaiki anak tangga yang disediakan oleh warga ketika Bubau dijadikan tempat wisata.
Nafas lega kami hela bersamaan dengan syukur yang terucap. Dari pintu keluar ini kami mencoba menelusuri kembali mulut gua yang kami masuki. Gua horizontal ini seperti keong, kedua mulutnya ternyata berdekatan, meskipun terlihat dekat perjalanan ini kami tempuh selama 150 menit.
Perjalanan yang menegangkan diselingi lawakan seorang kawan berhasil melengkapi petualangan kami di Sulawesi Selatan. Mengulik langsung keadaan Lo’ko Bubau yang kian tak terawat, kehidupan yang hampir mati. Sembari kembali pulang ke Baraka kami berandai bila Lo’ko Bubau suatu saat nanti dapat menjadi destinasi wisata pilihan di Indonesia. Tentunya setelah mendapat perawatan serta perlindungan dari pemerintah, dan tentunya komitmen dari semua yang merasa memilikinya.
Bubau belum mati. Keberadaannya masih menjadi rahasia. Sejarahnya belum benar terungkap. Dan apa yang tertinggal di dalamnya, bisa menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang menaruh rasa kagum terhadap kekayaan Indonesia.