Nationalgeographic.co.id—Dani Bunda masih ingat dengan jelas ketika ia dan kakak perempuannya membeli Tamagotchi di mal. "Kami duduk di ruang ganti dan berpura-pura menjadi penangkap alien—dan kami baru saja menemukan telur-telur ini," kenang Bunda yang sekarang berusia 27 tahun.
Bunyi 'bip' hewan peliharaan virtualnya selalu ada saat ia melakukan pelajaran tenis dan kesehariannya di sekolah. Ia memberinya makan, perhatian, disiplin yang tepat dan menjadikan Tamagotchinya tumbuh melalui siklus hidup yang unik, mendapatkan kepribadian dari perawatan yang mereka terima.
Mainan ini berbentuk telur sekuruan telapak tangan dengan layar pixelated hitam dan putih serta bisa jadi gantungan kunci. Itu adalah saat-saat bahagia yang melankolis. "Saya ingat, sangat jelas, berdiri di dapur ketika saudari perempuan saya mengetahui bahwa Tamagotchi-nya meninggal, dan betapa traumatisnya itu baginya," ungkap Bunda kepada Smithsonian. Masa-masa itu para pemain Tamagotchi dengan cepat belajar untuk memodifikasi permainan mereka. Memperpanjang hidup hewan peliharaan dengan melepas baterai mainan atau menggunakan grafit pensil untuk memicu sinyal debug.
The New York Times pernah memberitakan mainan ini saat heboh-hebohnya pada 1997. Mengutip beragam pendapat baik buruknya Tamagotchi saat itu. "Mainan itu menciptakan rasa kehilangan yang nyata dan proses berkabung," tutur Andrew Cohen, psikolog di Dalton School, Manhattan. "Anak-anak ingin memelihara dan merawat hewan peliharaan-itu memberi mereka perasaan pemberdayaan dan kepentingan diri sendiri-tapi di sini konsekuensinya terlalu tinggi. Itu di luar kendali."