Keadilan untuk Orangutan: Hukuman Selalu Ringan dan Kehilangan Habitat

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 Desember 2021 | 13:00 WIB
Orangutan dan manusia terlibat konflik akibat perubahan lahan. Tak sedikit orangutan yang dibunuh, tetapi keadilan tidak datang kepada satwa dilindungi ini. ()

Nationalgeographic.co.id—Indonesia punya perlindungan hewan liar secara hukum lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, atau biasa disebut UU Konservasi Hayati. Tidak main-main, sanksinya berupa lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta, bagi siapa pun yang membunuh satwa liar yang dilindungi. 

Ternyata, regulasi ini tidak berlaku ketat di lapangan. Misalnya, Januari 2018 ditemukan bangkai orangutan tanpa kepala di Sungai Kalahien Buntok, Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Orangutan itu ditemukan warga sekitar tersangkut di tepi sungai, dengan bulu di sekujur badannya rontok dan tangannya nyaris putus.

"Ditemukan ada tanda-tanda kekerasan fisik seperti sabetan senjata tajam. Sampai sekarang, kepala orangutan itu, belum ditemukan," ujar Adib Gunawan, kepala BKSDA Kalimantan Tengah di Merdeka.com, 15 Januari 2018. Kemudian orangutan itu dikubur sebelum mendapatkan otopsi.

Polres Barito Selatan kemudian menetapkan dua tersangka kasus pembunuhan, dan terbukti bersalah di pengadilan. Kedua tersangka dijatuhi vonis enam bulan penjara dan denda Rp500 ribu subsider satu bulan.

Pada bulan Februari 2018, kembali orangutan ditemukan mati dengan 130 peluru bersarang di kepala. Bangkainya ditemukan di desa Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pengadilan negeri Sangatta, Kalimantan Timur memutuskan keempat terdakwa bersalah dan dihukum tujuh bulan penjara, dan masing-masing denda Rp50 juta subsider dua bulan.