“Gunung Beriun memang tak seberapa tinggi, tetapi untuk mencapai puncaknya sangat sulit, karena kami harus membuka jalur baru,” ujar Yunaidi, Staf Fotografer National Geographic Indonesia. Yudi, sapaan akrabnya, membagi cerita penjelajahannya dalam bincang siang bertajuk Meretas Singgasana Beriun, 9 Oktober 2016.
Bincang siang itu termasuk dalam rangkaian acara Garuda IndonesiaTravel Fair (GATF) 2016 Fase 2 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada 7-9 Oktober 2016. Yunaidi bersama Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi kasim, mendapat kesempatan untuk berbagi kisah tentang ekspedisi ke Gunung Beriun. National Geographic Indonesia mendapat kesempatan menjelajah Gunung Beriun bersama EIGER Black Borneo Expedition 2016.
Secara administratif, Gunung Beriun terletak di wilayah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Gunung ini masuk ke dalam kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan karst seluas 1.867.676 hektare ini merupakan hulu dari lima sungai besar yang ada di Kabupaten Kutai Timur dan Berau.
Beriun juga menjadi rumah dari berbagai spesies flora dan fauna, di antaranya anggrek, jamur, burung rongkang dan walet. Selain itu, Gunung Beriun juga merupakan salah satu habitat penting bagi kelestarian orangutan kalimantan.
Sayangnya, kawasan karst Sangkulirang Mangkalahat—termasuk Gunung Beriun di dalamnya—kini terancam rusak akibat pertambangan semen, konversi hutan untuk perkebunan sawit dan pembalakan liar.
Selain itu, di kawasan karst Sangkulirang Mangkalihat banyak ditemukan gambar-gambar cadas berusia ribuan tahun yang menghiasi dinding-dinding gua. Keberadaan gambar-gambar cadas tersebut menjadikan kawasan ini memiliki nilai historis dan kebudayaan yang tinggi.
Ekspedisi berlangsung selama 20 hari, dari tanggal 1-20 September 2016 silam dan melibatkan tim Eiger, National Geographic Indonesia, Forum Peduli Karst Kutai Timur serta Pemuda Karangan Peduli Bumi. Seluruh tim berjumlah 25 orang, 15 di antaranya merupakan tim inti, sementara sisanya merupakan tim pendukung.
“Kami melibatkan penduduk lokal, karena bagaimana pun, mereka lebih memahami kondisi medan yang akan dihadapi,” kata Yudi—sapaan akrab Yunaidi.
Ekspedisi Beriun menjadi penjelajahan yang penuh marabahaya. Beriun merupakan gunung yang hampir tak pernah terjamah. Beberapa kali, penduduk lokal dan pembalak liar memang pernah memasuki hutan di kaki gunung ini. Namun hanya sampai ketinggian tertentu dan tak mencapai puncak.
“Jika mendaki gunung lain kita sudah tahu di mana arah puncaknya, maka beda dengan Beriun. Kami sama sekali nggak tahu di mana puncaknya,” kata Yudi.
Tumpukan dedaunan kering yang tampaknya tak berbahaya, ternyata menyembunyikan jurang-jurang dalam di baliknya. Jika tak berhati-hati, sekali terpeleset, habislah sudah. Selama penjelajahan, tim beberapa kali harus bertahan dari amukan badai. Serangan ular kobra juga menjadi ancaman lain yang mengintai tim. Selain itu, pacet—si kecil-kecil cabe rawit—kerap kali sukses menghisap darah anggota tim di bagian-bagian tubuh yang tak terduga.
“Jika kita tidak berusaha melestarikan Beriun dan karst Sangkulirang Mangkalihat, mungkin anak cucu kita hanya bisa menyaksikan kejayaan tempat tersebut melalui foto-foto saja,” pungkas Yudi.
Yudi mengakui bahwa ekspedisi ini merupakan penjelajahan terberat yang pernah dilakukannya. Ia bahkan sempat terkecoh oleh kondisi alam di Beriun. “Kami menduga kawasan ini cuacanya akan sangat panas. Tapi perkiraan kami meleset. Beriun ternyata sangat basah dan lembab,” ujarnya.
Kejadian unik yang dialami oleh tim bermula ketika hujan deras mengguyur Beriun. Saat itu, Firman, penduduk lokal yang berasal dari suku Dayak Basap, merapal doa-doa dalam bahasa setempat untuk meminta agar hujan berhenti. “Memang sulit dipercaya, tetapi saat itu hujan deras berhenti seketika,” ujar Yudi.
“Meski sulit bagi orang-orang sains untuk mempercayai hal semacam itu, tetapi kenyataannya memang ada, sebab itulah kita harus menghormati serta menjunjung tinggi tradisi dan kearifan lokal,” tambah Didi.