Kisah Dua Perempuan Indonesia Pertama di Puncak Vinson Massif Antartika

By , Selasa, 4 April 2017 | 16:00 WIB

Untuk pertama kalinya, perempuan pendaki Indonesia berhasil mengibarkan merah putih di Vinson Massif, puncak tertinggi di Benua Antartika. Perempuan tangguh tersebut adalah Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari.

Keduanya tergabung dalam tim Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (WISSEMU). Mereka memiliki misi untuk mendaki tujuh puncak dunia. Vinson Massif yang memiliki ketinggian hingga 4.892 mdpl, menjadi puncak ke lima yang berhasil mereka capai.

National Geographic Indonesia berkesempatan berbincang bersama dua srikandi itu di talkshow Deep & Extreme 2017 yang diadakan di JCC Senayan, 1 April 2017. Dipandu oleh Editor National Geographic Indonesia, Titania Febrianti, mereka membagikan pengalaman mereka mendaki Vinson Massif, mulai dari tahap persiapan, hingga saat mereka berhasil menjejakkan kaki di pucuk tertinggi benua terekstrem ini.

Baca juga: Tim WISSEMU Tiba di Cili untuk Mendaki Vinson Massif

Fransiska menuturkan, ada tiga persiapan yang mereka lakukan sebelum pendakian, yakni fisik, mental, dan peralatan. Peralatan terpenuhi dengan membeli segala macam yang dibutuhkan.

"Untuk persiapan mental, kami banyak melakukan brainstorming dan menggali pengetahuan tentang gunung dan medan di sana. Sementara persiapan fisik, kami latihan lari,” jelas Fransiska.

“Saat kami berkomunikasi untuk keperluan penulisan, waktu respon mereka cukup lama. Saya hubungi siang, mereka akan merespon hampir tengah malam. Dan mereka bilang, mereka habis lari. Saya jadi memikirkan tentang latihan fisik yang mereka lakukan,” timpal Titania.

Tidak hanya lari jarak jauh, atau lari dengan rintangan, latihan yang mereka lalui juga mencakup berjalan membawa beban. “Di awal, kita latihan dengan beban 20 kilo, turun-naik tangga. Tapi untuk sekarang-sekarang bisa sampai 30 kilo.”

Baca juga: Tim WISSEMU Tiba di Vinson Basecamp, Antartika

Antartika menjadi benua terekstrem di Bumi. Area ini bukanlah permukiman. Hanya peneliti dan hanya yang memiliki izin khusus untuk bisa masuk. Fransiska dan Mathilda mengakui bahwa ini adalah kesempatan yang sangat berharga bagi mereka. Meski begitu, hasil ini sepadan dengan apa yang mereka usahakan.

Para pendaki melakukan perjalanan menuju Vinson Massif, puncak tertinggi di Benua Antartika, yang diwarnai dengan suhu minus 30 hingga minus 40 derajat Celsius, dan juga hujan salju. (ISSEMU/Mahitala Unpar)

“Di Antartika, tercatat suhu bisa mencapai -94 derajat celsius saat musim dingin. Kami mendaki di waktu yang terbaik, saat musim panas, di mana matahari terang selama enam bulan. Itu pun, kami masih merasakan suhu hingga -33 derajat celsius,” katanya.

Selama pendakian dengan dingin yang menusuk, mereka harus terus bergerak untuk membentuk panas tubuh. “Waktu di puncak, diam untuk berfoto saja, rasanya sulit,” tutur mereka. Setiap kali makan, mereka mengkonsumsi 1.000 kalori untuk memenuhi kebutuhan pendakian. “Karena kelelahan, kadang nafsu makan kita menurun. Itu sangat berbahaya. Itu yang harus kita jaga.”

Pengalaman merasakan jam pagi yang berbeda di tiap bagian Antartika juga menjadi kesan tersendiri bagi mereka. “Memang kami pernah merasakan gunung bersalju sebelumnya, tapi kali ini rasanya sangat berbeda. Jam pagi di tiap bagian Antartika saja selalu berubah-ubah. Lokasinya saja spesial, tidak semua orang punya kesempatan. Ada aturan-aturan khusus pula selama pendakian karena suhu dingin yang ekstrem,” kata Fransiska bersemangat. Ia sendiri merasa bahwa Vinson Massif menjadi pendakian favoritnya.