Nationalgeographic.co.id—Monumen atau tugu nampaknya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia dari zaman dahulu sampai sekarang. Monumen dibangun untuk berbagai macam tujuan, dari sekedar dekorasi hingga keperluan ritual. Monumen-monumen kuno biasa disebut dengan monolit dan mereka dapat ditemui di banyak tempat, contoh yang paling terkenal adalah Stonehenge di Inggris.
Dilaporkan oleh Heritage Daily, para peneliti dari Universitas Negeri Washington melakuan penelitian pada monolit yang terletak di situs arkeologi Sakaro Sodo, zona Gedeo, Etiopia, Afrika Timur. Sakaro Sodo sendiri terkenal sebagai situs arkeologi dengan jumlah dan konsentrasi yang tinggi akan prasasti megalitik di seantero benua Afrika. Diperkirakan terdapat 10.000 prasasti dalam 60 kluster atau lebih di tempat ini.
Penelitian yang dipublikasikan pada Journal of African Archeology dengan judul New Dates for Megalithic Stele of Gedeo, South Ethiopia mengungkapkan bahwa monolit raksasa tersebut berumur 1.000 tahun lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya. Para peneliti mengetahui umur sebenarnya dari prasasti ini dengan menerapkan metode penanggalan radiokarbon.
Dengan hasil penelitian terbaru, diketahui monolit raksasa ini didirikan pada sekitar abad pertama Masehi. Sebelumnya, monolit itu telah diteliti oleh peneliti Prancis di tahun 90-an. Dalam penelitian pertamanya diketahui bahwa benda itu dibangun pada sekitar tahun 1100 masehi.
“Tempat ini adalah salah satu situs arkeologi yang paling jarang diteliti di dunia dan kami ingin mengubahnya,” kata Ashenafi Zena yang merupakan penulis utama studi tersebut.
Sebagai informasi, Zena yang berdarah Etiopia awalnya memutuskan untuk melakukan studi tentang monolit-monolit itu setelah melakukan kunjungan ke wilayah tersebut pada tahun 2013 dengan Andrew Duff, profesor antropologi sekaligus pembimbing doktoralnya dari Universitas Negeri Washington.
“Mengejutkan melihat begitu banyak monumen di area yang begitu kecil. Melihat monolit-monolit itu banyak yang jatuh ke tanah dan beberapa telah pecah berkeping-keping, saya memutuskan untuk memfokuskan pekerjaan disertasi saya di sana daripada menyelidiki situs gua di Etiopia selatan,” kata Zena.
Selain mengetahui kapan tepatnya monolit tersebut berdiri, dalam studi kali ini para peneliti juga mengungkapkan di mana orang-orang yang membangun monolit tersebut mendapatkan bahan mentahnya. Anehnya, sebagian besar obsidian yang diidentifikasi oleh para peneliti di Sakaro Sodo berasal dari sekitar 300 kilometer jauhnya di Kenya bagian utara. Hal ini berarti bahwa orang-orang zaman dahulu di Sakaro Sodo memperoleh sebagian besar bahan mentah obsidian untuk membangun monolit mereka melalui barter atau perdagangan.
Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang penghuni awal di Sakaro Sodo, Etiopia bagian selatan pada pergantian milenium pertama. Kapan tepatnya monolit dibangun secara pasti yang berhasil diidentifikasi oleh Zena dan Duff nampaknya bertepatan dengan awal dari sistem sosial dan ekonomi yang lebih kompleks.
Baca Juga: Batu-Batu Monumen Tsunami Ratusan Tahun Selamatkan Banyak Orang Jepang
“Salah satu alasan mengapa penelitian ini penting adalah potensi yang dimiliki penelitan ini untuk menjelaskan apa yang dilakukan penghuni awal di daerah ini untuk mencari nafkah serta apa praktik budaya dan sosial mereka,” kata Duff.
Tradisi prasasti megalitik arkeologi, etnografi, dan hidup yang ada di wilayah tersebut menunjukkan bahwa situs prasasti tertua di Etiopia di Sakaro Sodo dan lokasi terdekat lainnya kemungkinan dibuat untuk dua tujuan, untuk memperingati transfer kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya atau untuk merekam dan memperingati prestasi komunitas yang ada.
"Keragaman fungsi prasasti di Etiopia benar-benar menarik. Misalnya, kita tahu bahwa monolit Tuto Fela yang usianya lebih muda di bagian utara Gedeo digunakan sebagai penanda pemakaman. Sementara pola penempatan linier dari monolit-monolit yang ada paling awal di Sakaro Sodo membuat kami berpikir bahwa mereka mungkin merupakan penanda untuk menandakan berlalunya kepemimpinan generasi," jelas Duff.
Baca Juga: Menerka Gagasan Giuseppe Racina, Sang Arsitek Mausoleum Khouw Oen Giok
Situasi politik dan eskalasi pandemi COVID-19 baru-baru ini di Etiopia membuat tindak lanjut penyelidikan atas monolit tersebut dalam waktu dekat menjadi sulit. Para peneliti memiliki beberapa proyek yang akan datang yang mereka harap dapat dilanjutkan sesegera mungkin.
Satu proyek melibatkan lebih banyak penyelidikan arkeologi tambahan di situs monolit lain di daerah itu dengan rekan-rekan di Universitas Addis Ababa, Etiopia. Proyek lainnya adalah proyek yang dipimpin oleh Duff dan mahasiswa doktoral WSU saat ini Addisalem Melesse yang bekerja dengan Etiopian Department of Archaeology and Heritage Management untuk menentukan bagaimana situs tersebut dapat dikelola dengan lebih baik.
“Mengembangkan pemahaman yang lebih baik akan fungsi dari monolit-monolit ini dan bagaimana mereka didirikan sangat berguna untuk mendapatkan penunjukan Warisan Dunia UNESCO. Situs ini dapat membantu menghasilkan pendapatan pariwisata yang merupakan faktor ekonomi utama bagi Etiopia.” terang Duff.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Monumen Neolitik Berusia 4.500 Tahun Dekat Stonehenge