Saulak, Tradisi Pra-nikah nan Mistis Suku Mandar di Banyuwangi

By , Rabu, 3 Mei 2017 | 19:00 WIB

"Alhamdulilah. Ternyatanya maunya sama ibunya. Untungnya nggak minta macam-macam," kata Lilik sambil tersenyum.

Biasanya, kata Lilik, ada beberapa syarat yang diajukan agar nampan mau lepas dari atas perut seperti harus disediakan cincin atau benda-benda lain.

"Ketika saulak ada yang minta yang mengangkat nampan orang yang sedang lewat depan rumah. Padahal tidak saling kenal. Ada yang minta disediakan cincin," katanya.

Selama adat Saulak, akan ada seorang laki-laki yang memutar bagian bawah dua gelas hingga mengeluarkan bunyi-bunyian khas. "Itu syarat agar upacara berjalan lancar," katanya.

Setelah Saulak dilakukan pada calon pengantin perempuan, dilanjutkan pada calon pengantin pria dengan proses yang sama. Nampan yang menempel di perut calon pengantin pria yang bernama Achmad Fahrul digeser dengan mudah oleh ayah kandungnya yang hadir pada adat Saulak. Fahrul mengaku merasakan jika nampan menempel kuat diatas perutnya.

"Sepertinya nggak percaya tapi ya nyata. Untung nggak lama," katanya sambil tersenyum.

Ia mengatakan tidak masalah harus mengikuti adat yang dimiliki oleh calon istrinya. "Saat memutuskan menikah keluarga calon istri bilang jika nanti di-saulak. Saya sempat cari tahu apa itu Saulak dan keluarga besar saya juga tidak mempermasalahkannya. Beda suku kan beda adat," jelasnya.

Samsul Arifin, tokoh Suku Mandar yang ada di Banyuwangi yang juga ayah kandung calon pengantin perempuan mengatakan Saulak adalah salah satu upacara adat yang masih dilestarikan oleh masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki darah keturunan Mandar.

"Ada ratusan kepala keluarga di Banyuwangi yang masih keturunan Mandar Sulawesi dan masih menghidupkan adat Saulak pada saat pernikahan termasuk juga saat anggota keluarga ada yang hamil," katanya.

Putri Cempaka (27) sedang menjalani adat Saulak jelang pernikahannya. (Ira Rachmawati/Kompas.com)

Warga suku Mandar yang ada di Banyuwangi adalah keturunan Tuk Kapitan yang bermukim di wilayah kerajaan Blambangan yang meninggal pada tahun 1718. Tuk Kapitan adalah gelar yang diberikan Belanda. Nama asli Tuk Kapitan adalah Tuk Yasmin dan dia yang memimpin seluruh warga suku Mandar yang tinggal di wilayah Kerajaan Blambangan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.

Menurut Samsul, masyarakat di kerajaan Blambangan dikotak-kotakkan sesuai dengan sukunya dan masing masing dipimpin oleh ketua suku. "Saat itu ada Tuk Arab dan Tuk Cina. Jika ada yang ingin berkunjung harus izin dengan ketuanya masing-masing. Itu sebagai upaya pecah belah. Jika bersatu kan Belanda akan mudah dikalahkan," kata Samsul.

Saat ini ada sekitar 500 kepala keluarga Suku Mandar yang menyebar di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan mayoritas tinggal di daerah pesisir. Selain Saulak, ada yang masih dijalankan oleh warga suku Mandar yang ada di Banyuwangi adalah melarung sesaji saat ada kejadian yang berkaitan dengan siklus kehidupan.

Baca juga: Rekonstruksi Wajah Nenek Moyang Inggris yang Berkulit Gelap dan Bermata Biru

Samsul mencontohkan saat cucunya akan lahir, dia melarung sesaji seperti kembang telon ke pesisir laut. "Alhamdulilah setelah larung sesaji, bayinya lancar lahirnya. Padahal sebelumnya keluarga menunggu lama tapi bayinya tidak lahir-lahir. Ini adalah adat dan sampai kapan pun akan tetap kami lakukan dan kami wariskan kepada keturunan Mandar yang ada di Banyuwangi," pungkasnya.