Teulaga Tujuh adalah nama sebuah pulau kecil berpenduduk sekitar 300 kepala keluarga di wilayah pemerintah kota Langsa, Provinsi Aceh.
Untuk mencapai satu-satunya pulau di wilayah Langsa ini, kita harus menumpang kapal bermotor dari Pelabuhan Langsa. Jarak yang ditempuh kurang lebih 10 km dengan waktu sekitar 40 menit.
Hanya dengan membayar Rp 5.000,- per orang, kita akan sampai di Pulau Teulaga Tujuh atau yang dinamai Pulau Pusong oleh penduduk setempat. Namun jika terlewat kapal reguler, maka kita harus merogoh kocek antara Rp. 150.000,- sampai Rp 250.000,-.
Baca juga: Mengenang Kembali Sejarah Hari Pendidikan Nasional di Indonesia
Mengapa dinamakan Teulaga Tujuh?
“Sebenarnya Pulau Teulaga Tujuh itu pulau di seberang sana. Konon ada tujuh sumur. Hanya ulama yang bisa lihat sumur-sumur itu. Pulaunya angker, penduduk takut ke sana!” ujar Zakaria, kepala sekolah SD Negeri Teulaga Tujuh sambil turun dari kapal yang membawa kami dari Langsa ke Pusung. Zakaria baru dilantik sebagai kepala sekolah SD Teulaga Tujuh dua tahun lalu, setelah 27 tahun mengajar di sekolah tersebut.
Ia bersama enam orang guru lainnya setiap hari berangkat dari kota Langsa bersama tiga orang guru SMP Teulaga Tujuh dengan kapal sewaan yang mereka sewa sendiri seharga lima juta perbulan.
“Kami mengggunakan uang sendiri untuk sewa kapal, apalagi sejak pulau ini dihapus dari peta desa tertinggal oleh pusat!” ungkapnya.
“Tapi ini sudah kewajiban kami, kami berusaha untuk mengusulkan kembali agar desa ini masuk ke dalam kategori desa paling tertinggal karena ya situasinya begini. Air bersih saja harus memasok dari Langsa!” ujarnya lirih sambil terus menceritakan kondisi sekolah yang memiliki 198 siswa.
“Kami berusaha agar desa ini masuk dalam indeks penilian desa, kami akan ajukan ke Bappeda Langsa,” ujar Feri dari Dinas Pendidikan Kota Langsa yang turut mendampingi operator pendataan sekolah, cagar budaya, dan bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Langsa.
Amiruddin, Kepala SMP Pusong yang telah menjabat selama enam tahun menuturkan bahwa sejak 2014, sekolahnya kehilangan status daerah terpencil.Namun pada waktu itu, masih menerima Tunjangan Daerah Terpencil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 2015, statusnya berubah menjadi daerah tertinggal, maka pada tahun 2016 tidak mendapat tunjangan.
“Dulu tunjangan digunakan untuk insentif terutama untuk guru bakti yang ditanggung oleh sekolah, per jam Rp 15.000,- dan kami hitung berdasar jamnya, yah masih berjuang untuk itu,” ujar Amiruddin yang sebelumnya telah mengajar selama 24 tahun.
Baca juga: Kesamaan Konsep Pendidikan Finlandia dan Ki Hadjar Dewantara
Hari ini 17 Mei 2017, seluruh siswa sekolah dasar telah menyelesaikan ujian sekolah tahun ajaran 2016/2017. Raut wajah gembira terpancar dari beberapa siswa yang tinggal di sekitar sekolah. Ruang-ruang kelas telah dikunci, para guru pun tengah beristirahat merapikan peralatan ujian. Zahara, Lia Puspa dan Safina tampak sumringah, mereka telah menyelesaikan ujian sekolah mata pelajaran matematika, Bahasa Indonesia, agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam dan muatan lokal.
Ditanya soal cita-citanya, mereka kompak menjawab, “masuk Dayah!”. Dayah adalah sebutan untuk pondok pesantren, biasanya Dayah ini tidak mematok biaya pada santrinya.
“Masuk Dayah, tidak mau lanjutkan sekolah karena tidak punya uang,” ujar Zahara.
“Musim terang, bapak tidak ke laut,”lanjut Lia.
Mereka kembali bercengkrama dan menyanyi lagu berbahasa Aceh Langsa berjudul ‘sekeng heng bangbe’ yang artinya barang second hand. Tawa mereka berderai saat lagu selesai dinyanyikan, tiada kegundahan akan masa depan. Mereka berhambur bersalam tangan saat suara ibu-ibu mereka memanggil. Potret siswa dan sekolah di pulau kecil Langsa, walau jauh dari kata sejahtera, mereka tetap tersenyum ceria.