Menyelamatkan Hutan Indonesia melalui Aksi GCF

By , Rabu, 19 Juli 2017 | 20:00 WIB

Senja 18 Juli terasa khidmat di Sudirman Room, Hotel Pullman, Jakarta Pusat. Sebuah konferensi pers sedang digelar. Duduk empat pembesar di depan, ditemani seorang penggerak acara di sisi samping.

Mereka adalah Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia, Nur Masripatin; Gubernur Kalimantan Utara, Irianto Lambrie, Wakil Gubernur Papua Barat, Mohammad Lakotani; dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, Riza Indra Riyadi. Tak lupa juga, Bernadinus Steni, perwakilan Insitut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU), yang menjadi moderator “bincang-bincang senja” tersebut.

Konferensi pers itu diselenggarakan untuk melaporkan hasil Pertemuan Antar Gubernur Anggota Satuan Governor’s Climate and ForestsTask Force (GCF)—sebuah aliansi subnasional di skala global yang berfokus pada perlindungan hutan tropis serta beranggotakan 35 negara bagian dan provinsi dari 9 negara—siang sebelumnya.

Acara yang dihadiri oleh para gubernur anggota GCF, 17 mitra pembangunan dari kedutaan besar, organisasi donor, dan lembaga nonpemerintah ini merupakan perwujudan dari persiapan GCF dalam menyambut pertemuan tahunan GCF di Balikpapan, 25-29 September 2017 mendatang.

Pertemuan tahunan tersebut nantinya akan meluncurkan Balikpapan Challenge, proses multifase yang berupaya mencapai pembangunan berkelanjutan dan rendah emisi, sesuai dengan apa yang tertuang dalam Paris Agreement 2015 silam.

Perbincangan pun diawali dengan penjelasan Steni mengenai GCF Indonesia dan sang fasilitator, INOBU—sebuah lembaga penelitian nasional nonprofit di Indonesia yang berkomitmen membantu para petani menghasilkan komoditas yang tidak merusak lingkungan

Tiga pilar Balikpapan Challenge juga dijabarkan secara singkat: kerjasama antara penghasil-pembeli komoditas untuk mengurangi deforestasi, melindungi hak-hak dan menyejahterakan masyarakat adat di seluruh negara bagian dan provinsi anggota GCF, dan mengembangkan pendanaan pembangunan rendah emisi di negara dan provinsi anggota GCF.

Topik pun beralih kepada komitmen masing-masing provinsi dalam GCF. Irianto Lambrie mengawali pembahasan ini. Menurut Lambrie, Kalimantan Utara menjadi salah satu provinsi yang memiliki hutan terbaik di Kalimantan. Hal itu dikarenakan adanya kawasan konservasi Kayan Mentarang seluas 1,3 juta hektar. Selain itu, masih ada lebih dari 300 ribu hektar hutan lindung dan 5 juta hektar hutan produksi yang tersebar di sana.

Kalimantan Utara juga telah melakukan reboisasi dan penanaman kembali, baik di hutan sendiri maupun di perkotaan, melalui gerakan nasional menanam pohon. Namun, di provinsi yang diaklamasi sebagai anggota penuh GCF tahun lalu ini, pembangunan infrastruktur sedang giat dilakukan, dan dapat mengambil alih kawasan hutan.

“Secara simultan, kita juga harus mengembangkan kegiatan investasi. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang kuat untuk mencegah terjadinya perubahan iklim disertai dengan pembangunan investasi yang ramah lingkungan”, jelas Lambrie.

Perbincangan pun bergulir ke Mohammad Lakotani. Secara singkat, Lakotani menjelaskan bahwa Papua Barat telah ditetapkan pemerintah daerah dan DPRD setempat sebagai Provinsi Konservasi. Oleh karena itu, hak-hak masyarakat adat perlu dilindungi dan disejahterakan.

Meskipun begitu, bukan berarti Papua Barat menutup diri dari investasi. “Beragam suku tersebar di Papua Barat. Mereka adalah rakyat yang harus diangkat dan dibangun, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Keberlanjutan pembangunan tetaplah dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan”, ujarnya menutup pernyataan.

Kalimantan Timur justru selangkah lebih depan. Riza Indra Riyadi mengungkapkan, Kalimantan Timur telah melaksanakan program bernama Kaltim Green sejak tahun 2011. Salah satu bentuk aksi dari Kaltim Green adalah One Man, Five Trees. Hingga saat ini, lebih dari 36 juta pohon telah tertanam di Kalimantan Timur.