Menengok “Kerajaan Perempuan” Terakhir di Tanah Himalaya

By , Selasa, 15 Agustus 2017 | 18:00 WIB

Di bawah bayang-bayang pegunungan Himalaya, di tepi Danau Luga yang luas dan subur, hiduplah orang-orang Mosuo. Struktur sosial mereka yang kompleks dianggap sebagai salah satu dari masyarakat semi-matriarkal terakhir di dunia.

Orang Mosuo mengikuti garis keturunan ibu dan menjalankan praktik “pernikahan berjalan”, yaitu pernikahan di mana salah satu pasangan akan berjalan ke rumah ‘pasangan’nya di malam hari, dan kembali ke rumah mereka sendiri di pagi hari.

Selain itu, perempuan dapat memilih dan “mengganti” pasangan sesuai keinginan mereka, sebuah struktur yang menguntungkan perempuan di atas ketergantungan terhadap laki-laki.

Namun, suku kuno dengan nilai "modern" yang mengejutkan ini justru sangat diminati. Banyak wisatawan yang mengunjungi mereka dan para antropolog pun tertarik untuk menelitinya. Sementara itu, pemerintah Cina menganggap mereka sebagai komoditas yang menguntungkan.

Naju Dorma, 73, dan Lacuo Dorma, 66, dari desa Luoshui, mengenakan pakaian tradisional Mosuo. (Karolin Klüppel)

Di tengah derasnya arus kepentingan tersebut, kecerdasan, kekuatan fisik, ketenangan, dan martabat yang tinggi menjadi senjata mereka melawan ancaman erosi budaya sejak Revolusi Komunis. Namun, dalam 20 tahun terakhir, stabilitas mereka lambat laun hancur.

Layaknya banyak komunitas bangsa pertama di dunia, kesempatan untuk menghasilkan uang dari pariwisata dapat dikatakan telah sukses. Namun, dengan menampilkan budaya mereka kepada pengunjung, secara tidak langsung telah menimbulkan erosi budaya tersebut.

“Ini adalah konflik bagi banyak keluarga,” fotografer Karolin Klüppel, yang menghabiskan waktu mendokumentasikan Mosuo, mengatakan kepada National Geographic. "Hidup lebih mudah bila Anda mendapatkan keuntungan dari pariwisata, tapi mereka juga merasa sangat sedih dengan perubahan tersebut,” tambahnya.

Mosuo muda telah lebih terintegrasi dengan orang Han Cina, dengan banyak menikahi orang luar sukunya dan berpindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Dengan sedikit bantuan praktis dari pemerintah, Musuo tua justru yang menjadi penjaga budaya mereka.

"Mereka adalah bagian dari budaya yang sangat mengesankan saya, karena mereka begitu kuat, begitu hadir, dan penuh harga diri," kata Klüppel.

Pema Lamu, 73, duduk di kamar tidurnya di desa Zhashi. Seperti Dabu pada umumnya, tubuhnya sudah renta sejak bertahun-tahun dihabiskan bekerja di ladang. Sementara pria membantu bekerja, perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan pertanian. (Karolin Klüppel)

Di tengah perbincangan tentang eksploitasi, potret Klüppel yang menyentuh jiwa berusaha mencari kebenaran yang berbeda dan mendalam. Alih-alih menyederhanakan atau mendekonstruksi cara hidup mereka, rentetan fotonya justru mengungkapkan kekuatan abadi perempuan, layaknya pegunungan Himalaya yang tak tergoyahkan.

"Perempuan yang lebih tua berperan besar di desa, memberikan semua perintah kepada anggota keluarga," katanya. "Saya menghabiskan waktu bersama seorang wanita yang memiliki satu anak perempuan, dua putra dan dua cucu. Namun, dia yang bekerja paling keras,” jelas Klüppel.

Para ibu kepala rumah tangga yang ditemui Klüppel seringkali “sangat lucu, dan aktif", bertentangan dengan budaya Jerman yang pernah dia anut. "Saya melihat seorang wanita berusia 80 tahun membawa barang-barang yang tidak dapat saya bawa sendiri," katanya.

"Tubuh mereka benar-benar kuat. Saya menyadari bahwa kekuatan fisik sangat bergantung pada apa yang Anda lakukan dengan tubuh Anda, dan wanita ini memiliki kekuatan yang lebih besar daripada pria!” seru Klüppel.