Nationalgeographic.co.id—Pada abad ke-8, Kekristenan Timur atau Ortodoks, memberikan sebutan khusus tentang ikonoklasme, dari bahasa Yunani untuk menggambarkan suatu penghancuran ikon.
Makna 'Ikon'—dikenal dengan gambar Tuhan, Maria, santo, dan martir—dalam Kekristenan Ortodoks, lebih dari sekadar lukisan atau mosaik. Mereka adalah objek suci dalam dirinya sendiri dan layak dihormati.
Norman H. Baynes dalam Harvard Theological Review, merinci perdebatan selama berabad-abad baik di dalam maupun di luar Gereja tentang pemujaan ikon. Ia menulisnya dalam jurnal berjudul The Icons before Iconoclasm, yang terbit pada 1951.
Pada kajiannya, Baynes menyebut, bahwa "beberapa orang di dalam Gereja berpendapat bahwa ikon adalah penyembahan berhala."
"Orang-orang kafir (istilah yang digunakan Baynes dalam menyebut penganut ajaran non-Kristen) dapat berargumen bahwa pemujaan Salib, adalah bentuk lain dari pemujaan kayu, tidak jauh berbeda dengan pemujaan pohon," imbuhnya.
Kaisar Bizantium Leo III meluncurkan kampanye besar pertama melawan ikon sekitar tahun 726 dengan dekritnya yang melarang representasi tokoh agama. Penegasan terhadap larangan ikonoklasme juga sampai kepada wilayah Anatolia, Kapadokia salah satunya.
"Seiring dengan larangan keras dari penguasa Bizantium, segera para pendukungnya meruntuhkan (ikon) yang sudah ada," ungkapnya.
Sebagaimana disebutkan oleh J. Atkinson dalam Theoria: A Journal of Social and Political Theory, bahwa tindakan Leo III melarang penyembahan ikon, bukan tanpa alasan.
Atkinson dengan tegas mengungkap alasan Leo III dalam jurnalnya yang berjudul Leo III and Iconoclasm, yang terbit pada bulan Oktober 1973.
"Adanya kerugian militer (Bizantium) dan letusan gunung berapi Santorini, yang Leo III lihat sebagai tanda murka Tuhan akan adanya penyimpangan dalam ikonoklasme," tulis Atkinson. Alasan itu, lantas membuat Leo III mengharamkan praktik ikonoklasme dalam gereja.
Baca Juga: Konstantinopel Berubah Jadi Istanbul Bukan Saat Direbut Sultan Ottoman
Setelah larangan yang dilancarkannya melalui kampanya anti-ikonoklasme, selama dua generasi berikutnya, Kekristenan Timur dan Barat terlibat dalam perdebatan ikonoklasme dalam ajaran Kristen.
"Paus Gregorius III di Roma, menyatakan ikonoklasme sesat pada tahun 730," imbuhnya. Sampai pada tahun 787, untuk melihat sekali lagi, bahwa ikon-ikon itu sah dan berlaku di Bizantium.
Reformasi Protestan dalam banyak aspek, merupakan pemberontakan fundamentalis, memicu kerusuhan ikonoklastik di seluruh Eropa pada abad ke-16.
"Bagaimanapun juga, adanya pemberontakan yang terjadi adalah bagian dari pernyataan teologis, seperti halnya Kontra-Reformasi, yang memenuhi gereja-gereja dengan drama seni Barok dan Rococo (sebagai sarkasme)," tulis Wills.
Matthew Wills menulis kepada JSTOR Daily, dalam artikelnya yang berjudul A Short Guide to Iconoclasm in Early History yang terbit pada 28 Januari 2015.
Menurut Wills, tentang perdebatan ikonoklasme, sekali lagi dikembalikan pada perspektif dan keyakinan batin masing-masing pemeluknya.
"Siapa yang membuat aturan ini, siapa yang mendefinisikan teologi?," tanya Wills dalam artikelnya. Semua dikembalikan pada keyakinan masing-masing, masalah benar atau salah hanya bentuk retoris, perdebatan tanpa akhir.
"Dalam konteks perjuangan (pemberontakan) ini, kekuatan untuk memerintahkan (menghancurkan ikonoklasme yang menyesatkan), atau bahkan menolak, bentuk-bentuk representasi menjadi sangat penting," tutupnya.
Melalui pemberontakan terhadap ikonoklasme, akan adanya anti-tesis yang mencerahkan, agaknya membantu memberikan pencerahan dalam ajaran yang menentangnya, melihat kemurnian ajaran Kristen.
Baca Juga: Kerangka Prajurit Bizantium dengan Rahang Emas Ditemukan di Yunani