Membangkitkan "Roh" Pusaka Indonesia demi Kelestarian Lingkungan

By , Senin, 4 September 2017 | 11:00 WIB

Siang 29 Agustus 2017 silam, Bentara Budaya Jakarta dipadati oleh sekumpulan orang dengan pakaian batik yang mendominasi. Di dalam ruangan bernuansa hangat, pandangan mereka fokus pada lima orang yang duduk di atas mimbar. Sebuah diskusi Pelestarian Pusaka Indonesia bertajuk “Kearifan Tradisi dan Budaya Lokal untuk Kelestarian Lingkungan” digelar, memperbincangkan kontribusi warisan budaya Indonesia bagi keseimbangan alam.

Wartawan harian Kompas, Aloysius B. Kurniawan, duduk memandu jalannya diskusi. Di samping kirinya, turut berjajar manis empat narasumber, yakni Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Radhar Panca Dahana, Sastrawan dan Budayawan; Amanda Katili Niode, Manager The Climate Reality Project Indonesia; dan Catrini Pratihari Kubontubuh, Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).

Diskusi yang dihelat oleh Kompas dan BPPI itu diselenggarakan dalam rangka menyongsong International Conference for National Trust yang akan digelar pada 11-15 September 2017 mendatang di Gianyar, Bali. Sebelum diskusi dimulai, sebuah sambutan oleh Ketua Dewan Pembina BPPI, Hashim Djojohadikusumo menyentuh alam benak saya.

“Seberapa tahukah kita tentang makna ‘pusaka’? Mungkin, pusaka identik dengan bendera merah putih dan keris. Pusaka bukan hanya tentang bangunan kuno dan segala bentuk peninggalan fisik, tetapi juga seni budaya, alam semesta, dan lain-lain. Karena Indonesia tanpa budaya, bagaikan tubuh tanpa roh,” ucapnya.

Aloysius membuka diskusi dengan menyerahkan waktu kepada Wiratno. Wiratno menuturkan kontribusi warisan budaya Indonesia bagi pelestarian alam. Taman Nasional menjadi contoh utama yang dituturkan. Kini, ada 54 Taman Nasional yang menjadi harta karun Indonesia dan berbagai kawasan konservasi lainnya. Ia juga menuturkan, masih ada kemungkinan penemuan spesies baru flora atau fauna yang berguna bagi kehidupan manusia.

Wiratno menambahkan, pengelolaan sumber daya alam seperti kawasan konservasi harus dilakukan bersama masyarakat sekitar dengan berpegang teguh pada tata nilai dan budaya setempat. “Masyarakat memiliki pola hubungan tersendiri dengan sumber daya selama ratusan tahun, dan mereka memiliki berbagai praktik pengelolaan sumber daya yang efektif,” jelasnya.

Perbincangan bergulir ke Amanda. Dengan penuh ketegasan, Amanda menerangkan bahwa pusaka Indonesia—baik teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible)—terancam oleh perubahan iklim. Kegiatan manusia menjadi faktor terbesar penyebab bencana dari perubahan iklim yang terjadi.

“Kegiatan penggunaan energi fosil yang berlebihan dan perubahan tata guna lahan seperti penebangan hutan dan aktivitas lain yang tidak sesuai prosedur mengeluarkan gas rumah kaca, menciptakan pemanasan global, dan perubahan iklim. Bencana alam akan terjadi, dan kehidupan manusia akan menjadi imbasnya,” jelas Amanda.

Menurut Amanda, perubahan iklim global akan menyebabkan kepunahan 50% spesies di muka bumi, termasuk Indonesia. Pusaka tak teraga seperti upacara keagamaan di Bali juga terancam oleh perubahan iklim. Mitigasi dan adaptasi menjadi solusi yang ditawarkan untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim.

Amanda mengajak menengok kegiatan Nyepi di Bali yang dapat mengurangi 50% emisi karbon. Subak juga menjadi contoh kearifan lokal yang sempurna, yang merefleksikan konsep Tri Hita Karana—perpaduan hubungan yang harmonis antara alam, manusia, dan dunia spiritual.

Pusaka Indonesia yang Tergerus Zaman

Diskusi yang semakin kontemplatif terucap dari Radhar. Ia menekankan pada makna budaya yang salah kaprah yang terjadi saat ini. Menurutnya, banyak orang yang menganggap bahwa tari Kecak, dan Borobudur ialah kebudayaan. Sembari menggelengkan kepala, ia berujar “Berbagai tari-tarian, wayang, candi, ialah produk kebudayaan. Kebudayaan yang melahirkan itu semua. Sungguh keliru jika orang-orang memaknai itu sebagai pusaka,” ucapnya.

Radhar juga menyikut kegiatan orang-orang ibukota yang menggelar pesta budaya tanpa mengetahui makna visual dari kostum dan atribut yang dikenakan, seperti pakaian adat atau ikat kepala. “Kebudayaan kini hanya berisi maneken-maneken kesenian yang eye catching. Naasnya, generasi milenial atau bahkan pengguna kostum itu tidak mengetahui makna visualnya. Mereka sudah tidak mengenal identitas budayanya sendiri,” tutur Radhar.