Tapak Bahari di Kaki Sulawesi

By Dok Grid, Sabtu, 28 Oktober 2017 | 12:10 WIB

“Saya mau (pergi) ke Rajuni. Sabantar ada kapal, saya mau ikut (ke sana).”

Saya menatapnya heran. Dia tampak gelisah, seperti tak sabar untuk segera pergi dari hadapan saya.  

“Saya mau nengok ibu saya (di sana).”

Saya berkerenyit. Belum lagi saya melempar pertanyaan, dia memberikan keterangan tambahan.

“Saya punya keluarga angkat. Di setiap pulau (yang saya kunjungi), saya selalu mencari keluarga angkat.”

Seketika, rasa kagum saya menyeruak. Hebat betul, pemuda yang menjadi lawan bicara saya ini. Dia mampu menempatkan diri di antara masyarakat baru dalam setiap penjelajahannya.

Kenalkan teman baru saya, namanya Arfan Hamka. Tubuhnya gempal, padat berisi. Meski begitu, tinggi tubuhnya tak mampu melewati kepala saya, yang punya catatan tinggi badan sebesar 170 cm. Dengan perawakannya, saya tak heran, mengapa dia akrab disapa “Samson”. Nama panggilan itu kerap dia lontarkan saat lawan bicaranya bertambah karib. “Saya biasa dipanggil Samson,” begitu katanya, tanpa berikan alasan lebih jauh.  

Berjalan di antara tumpukan sampah yang terseret arus laut, Arfan Hamka (kerap disapa Samson) prihatin atas kondisi wilayah perairan di kaki Sulawesi. Arfan yang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin mengusulkan sampah yang menumpuk itu dimanfaatkan sebagai infrastruktur pendukung pulau-pulau kecil di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. (Bayu Dwi Mardana Kusuma)

Pulau Pasitallu Timur, yang berada di bagian selatan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Penduduk di pulau ini adalah keturunan Suku Bajo, yang telah terkenal melaut hingga benua tetangga, Australia. (Sanovra Jr/Tribun Timur)

Arfan alias Samson tercatat sebagai mahasiswa semester sembilan Jurusan Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Kuliahnya memang agak keteteran. Maklum, dia lebih suka “ngebolang” ketimbang diam dalam kelas menerima sejumlah teori dari sang pengajar. Sekalipun, dia mengaku, terbiasa menjadi “penghuni gelap” kampus (tak punya rumah kos, tapi bersarang di lingkungan kampus).

“Setiap kali ada kegiatan di pulau, saya selalu mencari keluarga angkat. Hampir setiap pulau yang saya datangi selalu ada keluarga (angkat). Buat saya itu yang penting,” Samson membuka kisahnya.

Penampilan Samson memang mencerminkan laki-laki penyuka alam bebas dan tak ingin terikat aturan rumit kampus. Berambut panjang melewati bahu, meski saya prediksi dalam beberapa tahun ke depan dia bakal kehilangan mahkota hitam itu, lantaran kepalanya punya potensi membotak seperti kebanyakan para ahli. Supaya nyaman, dia selalu menguncir ala cepol. Dan, biar tambah gaya, kacamata hitam selalu ditaruh di kepala. Kaus oblong dan celana selutut menjadi pakaian “resmi”nya. Kulitnya menggelap, gara-gara lebih sering berada di lapangan ketimbang dalam ruangan.  

Lelaki berusia 23 tahun ini tak terlalu menyukai hal-hal yang bersifat formal dan seremonial. Pastinya, Samson lebih gemar berbincang santai sembari mengisap tembakau produksi perusahaan rokok papan atas di negeri ini. Terlebih lagi, ada minuman hasil seduhan kopi yang bercampur dengan susu.