National Geographic Indonesia pernah mencoba membuntutinya. Tahun 2008, kami berkesempatan menjelajahi hutan dalam Ekosistem Batang Toru, di Kabupaten Tapanuli. Editor in chief kami saat itu, Tantyo Bangun, berangkat sebagai fotografer. Seperti biasa, ia menyiapkan peralatan fotografi untuk menangkap setiap momen dari kera besar Sumatra itu. Sayangnya, editor in chief pertama kami itu belum berhasil menangkap visual nan apik.
Kemudian Pada tahun 2014, Tim Laman, mendapatkan penugasan dari National Geographic untuk mendokumentasikan orangutan di Indonesia. Tim juga menjelajahi Batang Toru, dan berhasil mendapatkan visual orangutan jantan sedang duduk di tajuk pohon (seperti tampak dalam foto). Bagi Tim, orangutan bukanlah spesies asing, karya visualnya tentang kera cokelat ini telah kami tayangkan dalam edisi Desember 2016.
Kini, kami dapat kabar gembira. Orangutan yang kami jumpai di Batang Toru itu menjadi perbincangan seantero jagat. Para ahli genomik-genetika konservasi, morfologi, ekologi, serta perilaku primata telah bersepakat menyatakan kera besar ini menyandang nama latin Pongo tapanuliensis. Kera besar Tapanuli ini juga secara resmi menjadi spesies ketiga setelah orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan Sumatra (Pongo abelii).
Baca juga: Aksi Lucu Orang Utan Humoris yang Menggoda Sekawanannya
Siti Nurbaya sudah melaporkan penemuan spesies kera besar terbaru itu kepada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Ia menyebut, orangutan tapanuli baru ditemukan kembali di akhir tahun 1990-an. Sebelum masa itu, peneliti menganggap populasi orangutan Sumatra di alam bebas hanya tersebar di wilayah utara dari Danau Toba.
Spesies orangutan tapanuli ini hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru yang meliputi hutan dataran tinggi yang tersebar di tiga kabupaten Tapanuli.
Orangutan yang menghuni kawasan hutan di Ekosistem Batang Toru ini membutuhkan perhatian lebih lantaran populasinya tak lebih dari angka 800 individu. Selain itu, belum seluruh areal tinggal mereka punya status perlindungan.
Individu pemalu
Seekor orangutan jantan yang dijumpai di hutan wilayah Batang Toru. Orangutan di wilayah ini secara resmi menyandang nama spesies baru Pongo tapanuliensis. (Tim Laman/National Geographic)
Orangutan dikenal sebagai individu yang pemalu. Menemukan mereka di dalam hutan luas yang lebat bukanlah perkara yang mudah.
Dikutip dari laman AustraliaPlus, Erik Meijaard, seorang ilmuwan hutan dan konservasi, mengatakan bahwa menemukan orangutan ini di pedalaman adalah hal yang tidak mungkin berhasil. Erik pun akhirnya mengandalkan informasi dan catatan penjelajah Belanda di awal tahun 1900-an untuk melakukan pencarian “rumah” mereka di hutan.
Baca juga: Orangutan Beri Petunjuk Asal-usul Kemampuan Berbicara Manusia
Setelah melakukan pencarian dan pemetaan di Kalimantan, Erik melanjutkan perjalanannya ke Sumatra. Di Sumatra inilah ia menemukan catatan penjelajahan tadi. Pada catatan perjalanan disebutkan secara berulang mengenai adanya populasi orangutan di daerah Tapanuli, jauh di selatan habitat orangutan Sumatra. Erik pun memutuskan untuk ke sana.
Pencarian saat itu juga tidak langsung membuahkan hasil. Ia tidak menemukan satu pun orangutan. Erik menemukan adanya sarang, dan inilah yang menjadi awal perjalanan Erik untuk menemukan dan mempelajari orangutan Tapanuli.
Karena sifat pemalu inilah orangutan Tapanuli hidup susah ditemukan. Ekspedisi di hutan terpencil Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang dimulai pada tahun 1997 ini baru membuahkan hasil 20 tahun kemudian.
Angka reproduksi rendah
Orangutan mempelajari sebagian besar perilaku yang digambarkan di sini dari induknya, sebelum mencapai masa remaja sekitar usia 12 tahun. Beberapa perilaku ini ditemukan di mana-mana. Yang lainnya hanya ditemukan di daerah tertentu, menunjukkan kemungkinan adanya budaya daerah. (National Geographic)
Terobosan penelitian pada kelompok peneliti lain dimulai ketika sebuah kejadian tragis menimpa seekor orangutan Tapanuli pada November 2014. Orangutan itu diserang dan dibunuh oleh warga kampung.
Orangutan Tapanuli ditemukan, namun dalam kondisi tidak bernyawa. Tidak ingin kehilangan kesempatan, para peneliti mengambil tengkoraknya dan membandingkan dengan 33 tengkorak orangutan Sumatra dan Kalimantan.
Analisa genetika menunjukan perkawian silang sudah terjadi antara orangutan Tapanuli dan Sumatra sekitar 10.000 tahun lalu. Namun secara morfologis, mereka berbeda dan bisa digolongkan sebagai satu spesies tersendiri.
Hasil DNA dan dikombinasikan dengan berbagai perhitungan model matematika, menunjukan bahwa orangutan Tapanuli “terpisah” dari orangutan Sumatra dan Kalimantan sekitar 3,4 juta tahun lalu.
Baca juga: Orangutan Dibantai dan Dimasak di Area Perkebunan Sawit Kalimantan
Populasi mereka terhitung relatif kecil dan di bawah ancaman, kurang dari 800 orangutan dalam area 1.000 kilometer persegi. Hal ini semakin diperparah dengan angka produksi yang rendah. Orangutan Tapanuli hanya melahirkan satu anak setiap sekitar enam tahun. Perburuan juga turut mengancam mereka dari kepunahan.
Semoga primata kedelapan — setelah manusia, gorila timur, gorila barat, simpanse, bonobo, orangutan Sumatra dan orangutan Kalimantan — ini dapat terlindung dan menjauh dari kepunahan.