Dalam sebuah artikel yang diterbitkan awal tahun ini, Anthony Tubbs dan Andre Nussenzweig menekankan bahwa setiap DNA sel manusia mengalami sekitar 70.000 luka per hari. Kita tidak akan hidup lama jika tubuh tidak memiliki cara mengoreksi kesalahan-kesalahan itu, apalagi jika semua kesalahan itu mendorong kita mengembangkan tumor. Penting untuk diingat bahwa tumor hanya muncul setelah beberapa mekanisme kontrol menemui kegagalan.
Mula-mula, proses perbaikan normal DNA sel yang rusak pasti gagal. Kemudian, sel itu pasti bisa bereproduksi dalam cara serampangan, artinya problem itu pada prinsipnya pasti mempengaruhi gen-gen yang bertanggung jawab atas duplikasi sel, atau yang mengatur duplikasi itu. Sel-sel yang rusak juga harus lolos dari penghancuran diri yang diprogram secara alami dikenal sebagai apoptosis) dan kewaspadaan sistem kekebalan tubuh, yang tugasnya adalah melenyapkan unsur-unsur asing dan unsur-unsur disfungional lainnya.
Kontak sel dengan mutagen eksternal atau internal dengan demikian hanyalah satu langkah dalam rangkaian panjang kegagalan yang mesti terjadi sebelum sebuah tumor bisa berkembang.
Peran stres
Pada tahap pembahasan tentang peran “nasib buruk” dalam kemunculan kanker ini, layak kiranya memperhatikan peran khusus yang dimainkan oleh stres individual, pokok bahasan karya saya Stress and Cancer: When Our Attachment Plays Tricks on Us (De Boeck). Setiap langkah menuju sel yang menjadi kanker bersifat sensitif terhadap stres dan hormon-hormon stres. Oleh karena itulah stres psikologis kronis, yang saat ini terutama disebabkan oleh stres psikologis, bisa dianggap sebagai penyebab langsung kanker. Perlu saya tambahkan, bagaimanapun juga, masih ada perbedaan pendapat terbuka mengenai masalah ini.
Stres psikologis kronis pada kenyataannya memang mempercepat reproduksi sel, termasuk pemendekan telomer, “kap” yang melindungi kromosom kita dari aus. Fenomena ini diungkap oleh penelitian Elizabeth Blackburn, yang meraih hadiah Nobel Kedokteran karena menemukan telomerase. Semakin banyak sel-sel yang terdiferensiasi ini berlipat ganda, semakin tinggi risiko mutasi acak DNA mereka. Selain itu, semakin banyak sel-sel yang terdiferensiasi menjadi tua dan mati, semakin banyak sel-sel induk membelah untuk membuat sel-sel baru, mempertinggi risiko perkembangan kanker.
Tetapi itu belum semua. Melalui proses neuroendokrin, stres psikologis juga mempengaruhi metabolisme oksidatif, perbaikan DNA, ekspresi onkogen dan faktor pertumbuhan produksi. Ini menimbulkan problem-problem umum yang terkait dengan radang kronis dan hilangnya fungsi kekebalan efektif, seperti yang bisa dilihat dalam kajian-kajian yang dikutip dalam buku saya.
Kontroversi “nasib buruk” yang mengitari penelitian Tomasetti dan Vogelstein menyediakan bahan pemikiran baru. Mereka menunjukkan bahwa, menurut organisasi Cancer Research UK, 42% kanker bisa dihindari dengan mengubah lingkungan dan gaya hidup. Di Prancis, institut kanker nasional melaporkan rasio yang sama untuk kanker yang bisa dicegah. Angka ini tinggi dan tidak serendah yang diharapkan. Apakah ini artinya tidak ada apa pun yang bisa dilakukan dengan sekitar 60% kasus lainnya?
Yang jelas, Tomasetti dan Vogelstein mengemukakan cara-cara untuk melawan “nasib buruk”. Mereka menyarankan, antara lain, penggunaan antioksidan dalam pencegahan kanker. Mengingat proses berbahaya yang dijalankan oleh stres, melindungi kesehatan psikologis seseorang juga merupakan sebuah senjata efektif untuk melawan kanker.
Yvane Wiart, Chargée de cours, docteure en psychologie, Université Paris Descartes – USPC
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.