Tahun 2017 Bukan Tahun Terpanas, Namun Tahun dengan Sejumlah Cuaca Ekstrem Terparah

By , Selasa, 7 November 2017 | 12:28 WIB
()

Saat 2017 segera berakhir, sebuah pernyataan sementara dari World Meteorological Organization (WMO) telah dirilis hari ini di KTT PBB mengenai perubahan iklim terbaru COP23 di Bonn, Jerman.

Menurut pernyataan tersebut, sejak  Januari sampai September tahun ini suhu global rata-rata berkisar 1,1 °C. suhu ini lebih tinggi dibanding saat era pra-industri.

Sementara di bagian selatan Eropa dan Benua Afrika, tahun ini juga telah membawa suhu tinggi. Hal menjadikan ini lebih luar biasa adalah kenyataan bahwa ternyata kenaikan suhu tersebut tidak adanya pengaruh penguat dari siklus El Niño.

Seperti yang telah dicatat para ahli dalam dua tahun terakhir, pemecahkan rekor dalam hal suhu yang terik itu terjadi berkat El Niño yang sangat kuat - pergeseran siklus yang membawa cuaca yang lebih hangat melintasi Samudra Pasifik.

Jadi, meskipun 2017 belum memecahkan rekor suhu keseluruhan tahun lalu, saat ini telah menjadi tahun non-El Niño terpanas, menutup 2013-2017 sebagai periode lima tahun terpanas yang penah tercatat. Tentu saja, tidak satu pun dari berita ini yang mengejutkan ilmuwan iklim yang telah mengamati tren kenaikan suhu global sementara untuk saat ini. Mereka juga telah memiliki penjelasan yang solid untuk apa yang sedang terjadi.

"Tiga tahun terakhir semuanya masuk dalam catatan. Ini adalah bagian dari tren pemanasan jangka panjang," kata Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO.

Terlepas dari suhu yang selalu menghangat, tahun ini dunia juga mengalami beberapa cuaca ekstrem yang mengerikan, beberapa di antaranya dengan sendirinya telah memecahkan rekor.

Misalnya, Atlantik Utara memiliki musim siklon tropis yang sangat aktif, dan tiga badai berdampak tinggi membuat pendaratan di AS berangsur-angsur cepat. Pada 1.539 milimeter, hujan dan banjir Badai di Harvey telah menjadi sejarah sebagai curah hujan tebesar selama tujuh hari yang pernah tercatat di daratan Amerika Serikat.

Baca juga: Tahun 2100, Suhu Asia Selatan Diprediksi Terlalu Panas untuk Manusia

Para ahli telah mengakui bahwa hubungan antara perubahan iklim dan badai tropis ini memang rumit, namun tim WMO telah menemukan bahwa kemungkinan perubahan iklim ini terjadi akibat ulah manusia yang dapat membuat tingkat curah hujan lebih tinggi.

Banjir bandang juga mempengaruhi bagian-bagian di sub-Benua India, terutama bagian Nepal timur dan utara Bangladesh pada pertengahan Agustus kemarin. Sementara Kenya mengalami kekeringan parah sehingga dinyatakan sebagai bencana nasional.

"Kami menyaksikan cuaca yang luar biasa, termasuk suhu di atas 50 derajat celcius di Asia, badai yang telah memecahkan rekor dalam suksesi cepat di Karibia dan Atlantik hingga mencapai sejauh Irlandia, banjir musim hujan yang menghancurkan yang mempengaruhi jutaan orang, serta kekeringan yang tiada henti di Afrika Timur, "kata Taalas.

!break!