Menelisik Potensi Ekowisata di Indonesia dan Cara Memasarkannya

By Utomo Priyambodo, Selasa, 11 Januari 2022 | 09:00 WIB
Keanekaragaman hayati harus dapat meningkatkan kesejahteraan warga di sekitarnya. Ekowisata pengamatan burung menjadi cara pelestarian alam yang berkelanjutan di Tablasupa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Indonesia punya potensi ekowisata yang besar karena memiliki sumber daya alam yang indah dan melimpah. Bahkan, tak bisa dibantah, sebagian besar kegiatan objek wisata di Indonesia adalah wisata alam.

Namun bagaimana caranya memaksimalkan modal besar yang dimiliki negeri kita ini untuk menjadi sarana ekowisata demi kegiatan pariwisata yang berkelanjutan? Lalu bagaimana memasarkannya?

Perlu diketahui lebih dulu, ekowisata atau ekoturisme sendiri adalah kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Kini, sudah mulai banyak perusahaan maupun komunitas di Indonesia yang menawarkan kegiatan ekowisata sebagai cara untuk melesatarikan kegiatan pariwisata sekaligus alam dan lingkungan. Salah satunya adalah Sebumi, perusahaan yang memiliki fokus utama memberikan edukasi terkait lingkungan hidup melalui kegiatan wisata konservasi atau ekowisata.

Embung (tampungan air) Nglanggeran di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Desa Nglangger (Lutfi Fauziah)

Iben Yuzenho, Direktur Sebumi, mengatakan bahwa ada dua pendekatan dalam menciptakan produk, termasuk produk pariwisata, yakni outside-in dan inside-out. Menurutnya, selama ini pendekatan untuk produk pariwisata "terlalu outside-in."

"Jadi, kita create produk based on apa yang diminta oleh market," kata Iben dalam diskusi bertajuk "How's The Indonesian Ecotourism Market Perspective?" di acara Road to Indonesia Ecotourism Summit 2022 yang dihelat pada Ahad, 9 Januari 2022.

Masalahnya, jika hanya mengikuti permintaan pasar, berarti kita harus memuaskan apa pun yang diinginkan dan dibutuhkan pasar, berarapun harga atau dampak yang bisa ditimbulkan. "Itu berbabaya kalau tidak dibalance dengan pendekatan inside-out. Inside-out itu berarti kita memahami siapa diri kita, apa kekuatan kita, dan apa kontribusi dan apa yang bisa kita tawarkan untuk dunia," tutur Iben.

Peserta trip Geo Avontur menyusuri kawasan Ekowisata Mangrove Karang Song, Indramayu, Jumat (15/1). (Lutfi Fauziah)

Jelas, kekuatan Indonesia adalah wisata alam. "Itu aset kita. Itu harus kita jadikan kekuatan saat kita menawarkannya kepada dunia."

Iben mengibaratkan pembuatan produk pariwisata ini seperti pembuatan konten YouTube. "Samalah kayak kita di YouTube. Kita mau isi dengan konten-konten yang unfaedah atau kita mau isi dengan konten-konten yang positif. Kalau kata teman saya, CEO Kitabisa.com itu, orang baik jangan kalah berisik sama netizen-netizen yang bicaranya unfaedah."

Jadi, menurut Iben, kita harus menciptakan produk pariwisata kita sendiri yang ramah terhadap diri kita dan ramah terhadap lingkungan kita. Sebab, terkadang pasar juga tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan atau mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka inginkan itu dalam puluhan tahun mendatang bakal merusak.

"Overtourism dan mass tourism itu harus di-balance dengan pendekatan yang inside-out," ujar Iben mencontohkan.

Agus Wiyono, Ketua East Java Ecotourism Forum, menuturkan bersardasarkan pengalamannya bahwa untuk membentuk produk ekowisata perlu partisipasi dari banyak pihak. "Banyak sumber daya yang harus kita ikutkan. Itu yang selama ini kita lakukan, bagaimana memobilisasi sumber daya dari berbagai ilmu dan sektor itu untuk berkontribusi dalam tujuan yang sama."

Sebagai contoh, East Java Ecotourism Forum bekerja sama dengan Universitas Brawijaya untuk menggelar kuliah pariwisata non-gelar yang gratis tiap akhir pekan untuk para praktisi ekowisata ataupun masyarakat terkait untuk meningkatkan kemampuan mereka sekaligus untuk mencari solusi bersama atas setiap solusi yang mereka temui di lapangan.

Tangkahan seringkali disebut sebagai Surga Tersembunyi di Pulau Sumatera. Tak heran julukan tersebut melekat pada ekowisata Tangkahan, sebab di sinilah satwa dan flora hidup lestari dengan penuh harmoni. (Shutterstock)

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, mengatakan bahwa sekarang kita membutuhkan sudut pandang baru dalam memandang pariwisata di Indonesia. "Kita lupa bangun narasi akar rumputnya yang membentuk archipelago sebagai episentrum ekowisata. Narasi itu begitu banyak terkubur dalam memori-memori individu dan tidak diceritakan. Hanya terpendam dan hanya menjadi tontonan, bukan tuntunan."

"Padahal sebetulanya yang memastikan lestarinya ekowisata di negeri ini adalah adat dan tradisi kita. Adat dan tradisi kita ini kadang tidak menjadi produk karena dianggap sebagai hal yang sudah sehari-hari," papar Didi.

National Geographic Indonesia bersama Saya Pejalan Bijak telah menjalankan kerja sama dengan berbagai komunitas di berbagai daerah di Indonesia agar mereka mau berbagai cerita dan narasi daerah mereka. Kearifan lokal apa saja yang bisa kita resapi. Keunikan apa saja dari setiap tempat yang bisa kita ikut alami dan rasakan.

"Kita ingin menyampaikan narasi yang bisa menggugah dan memberi rasa kepada para audience, tidak hanya yang memberi tahu soal keindahan alam dan lingkungan itu."

Didi juga menekankan pentingnya kolaborasi. "Ada yang pintar bercerita, ada yang pintar menghubung, ada yang membuat kebijakan. Ketika semua itu terhubung dan membuat sebuah produk yang matang, saya pikir itu yang akan membangkitkan kembali pariwisata kita di masa depan," tegas Didi.

Baca Juga: Burai Ekowisata, Alternatif Wisata Sungai di Pinggiran Ogan Ilir