Populasi orangutan di Kalimantan terus mengalami penurunan. Laporan riset bertajuk “First integrative trend analysis for a great ape species in Borneo” pada bulan Juli yang dilakukan oleh Truly Santika bersama 46 ilmuan dari beberapa universitas, The Nature Conservancy (TNC) dan lembaga lainnya menunjukan populasi orangutan di Kalimantan terus mengalami penurunan.
Masalah konflik dengan manusia, menyusutnya habitat, kegiatan perburuan dan fragmentasi habitat telah menyebabkan penurunan orangutan sebanyak 25 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
“Jumlah orangutan diperkirakan mengalami penurunan terutama akibat hilang dan terkotak-kotaknya habitat orangutan, karena konversi hutan menjadi kawasan perkebunan, hutan tanaman, pertambangan dan pembangunan infrastruktur lainnya. Tentu saja kecenderungan penurunan populasi orangutan ini perlu dikendalikan,” ungkap Truly yang dikutip dari Mongabay.co.id.
Berdasarkan hasil Population and Habitat Viability Assessment Orangutan 2016, saat ini kepadatan populasi orangutan kalimantan cenderung menurun dari 0,45-0,76 individu per kilometer persegi menjadi 0,13-0,47 individu per kilometer persegi di habitat seluas 16.013.600 hektar dan tersebar di 42 kelompok populasi (metapopulasi). Hanya 18 kelompok populasi di antaranya diprediksi akan lestari hingga 100 – 500 tahun ke depan.
Mengutip dari Mongabay.co.id, Direktur Program Kehutanan TNC Indonesia Herlina Hartanto mengemukakan beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan untuk mengurangi laju penurunan populasi orangutan di Kalimantan.
Baca juga: Ditemukan Spesies Baru Orangutan Tapanuli, Berambut Keriting dan Berkumis
“Tata ruang provinsi perlu memasukkan kawasan lindung habitat orangutan secara khusus dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan dan industri yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan secara aktif,” ungkap Herlina.
Lebih lanjut ia mengatakan, kerjasama berbagai pihak untuk melindungi habitat orangutan seperti ini sebenarnya telah dirintis di Indonesia, yaitu di Bentang Alam Wehea-Kelay yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Orangutan. Mencakup wilayah seluas 308.000 hektar, KEE Koridor Orangutan Bentang Alam Wehea-Kelay melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta dan LSM yang memiliki komitmen untuk menjaga kelestarian orangutan melalui perlindungan habitatnya.
Upaya Pelepasliaran
Di tempat lain, dalam bulan November 2017 ini, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) telah melepasliarkan kembali orangutan di hutan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBR), Katingan, Kalteng. Dalam pelepasliaran ini, ada dua belas orangutan yang bebas kembali ke alam liar. Terdiri dari empat jantan dan delapan betina. Dua diantaranya merupakan orangutan hasil repatriasi dari Thailand tahun 2006 bernama Nanga dan Sukamara.
“Orangutan bukanlah satwa yang kita bisa lepasliarkan semau kita. Mereka butuh waktu bertahun-tahun mengasah keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk bisa bertahan hidup di hutan. Tidak hanya waktu, proses ini juga butuh dana yang tidak sedikit,” sebut CEO BOSF Jamartin Sihiteyang dikutip dari mongabay Indonesia.
Baca juga: Fakta-Fakta Ini Bikin Kita Prihatin Pada Nasib Orangutan Tapanuli
“Kondisi ini membuat kita wajib bekerja keras melestarikan keberadaan mereka. Kami bangga bisa berperan mengembalikan ratusan orangutan kembali ke habitatnya. Hutan yang lestari dan terlindungi merupakan faktor penting bagi kualitas hidup manusia.”