50 Kapal Karam di Asia Tenggara Terancam Dijarah

By Dok Grid, Rabu, 22 November 2017 | 15:00 WIB
Pemandangan haluan RMS Titanic difoto pada bulan Juni 2004 oleh ROV Hercules selama ekspedisi kembali ke kapal karam Titanic. Tenggelamnya Titanic membuka tonggak sejarah dunia penggunaan radio untuk hiburan masyarakat. (NOAA/IFE/URI via Wikipedia)

Penelitian mutakhir yang disajikan dalam sebuah konferensi arkeologi maritim mengungkapkan setidak-tidaknya 48 kapal karam—termasuk kapal-kapal Perang Dunia II dan beberapa kapal pascaperang—diangkat secara ilegal di Asia Tenggara. Angka ini adalah lonjakan mengejutkan dari beberapa kapal karam yang diketahui sudah rusak atau hancur.

Jepang kehilangan sebagian besar kapal karamnya. Negara-negara lain yang juga mengalami kehilangan adalah Australia, Amerika, Belanda, Inggris, Jerman, dan Swedia.

Namun, sumber-sumber yang dekat dengan masalah ini mengatakan bahwa angkanya mungkin jauh lebih tinggi lagi, mengingat sebuah perusahaan Cina mengklaim sudah menyelamatkan lebih dari 1.000 kapal karam di Laut Cina Selatan.

Sekaranglah saatnya bergerak cepat untuk melindungi kapal-kapal karam itu dan melestarikan sejarah yang terkandung. Museum bisa memainkan peran utama. Misalnya, pameran-pameran seperti Guardians of Sunda Strait yang kini diselenggarakan Australian National Maritime Museum menjadi saksi bagi gema terus-menerus kisah-kisah kapal-kapal tersebut meskipun situsnya sendiri sudah hancur.

Pameran ini, memusatkan perhatian pada tenggelamnya HMAS Perth dan USS Houston dalam Perang Dunia II, menjadi semakin terasa relevansinya dengan fakta bahwa HMAS Perth, khususnya, banyak dipereteli dalam tahun-tahun belakangan ini.

Gema emosional kisah-kisah keberanian dan pengorbanan yang diceritakan di sini—seperti kisah veteran HMAS Perth Arthur Bancroft, yang mengalami kapal karam bukan cuma sekali melainkan dua kali, dan Padri Tentara Rentz USS Houston, yang mendesak seorang juru sinyal muda untuk memakai pelampungnya setelah kapal tenggelam—diperkuat, bukan dipudarkan, oleh tragedi kontemporer yang menyertai.

Benda-benda standar

Beberapa negara, seperti AS, sudah mengesahkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi kapal militer tenggelam mereka, di mana pun mereka bersemayam.

Di tingkat internasional, Hukum Laut PBB 1982 menyatakan bahwa, kecuali secara eksplisit ditinggalkan, sebuah negara bendera (negara di mana sebuah kapal terdaftar) memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal karam. Ini juga berlaku tanpa memandang apakah kapal yang bersangkutan tenggelam di perairan asing atau tidak.

Tenggelam selama tiga dekade, piring keramik dari HMAS Perth ini diselamatkan pada tahun 1970-an dan akhirnya dikembalikan ke Angkatan Laut Australia. (Natali Pearson)

Tenggelam selama tiga dekade, piring keramik dari HMAS Perth ini diselamatkan pada tahun 1970-an dan akhirnya dikembalikan ke Angkatan Laut Australia.Natali Pearson

Untuk kapal-kapal yang tidak sepenuhnya hancur, terdapat alasan kuat bagi penyelamatan “benda-benda standar” seperti lonceng kapal di kapal-kapal militer—benda yang pasti familier bagi setiap perwira atau pelaut, apa pun pangkat mereka.

Pada tahun 2002, menanggapi keprihatinan atas penyelamatan ilegal kapal-kapal karam Inggris di perairan Malaysia, sebuah tim penyelam Angkatan Laut Inggris mengawasi penyelamatan lonceng dari HMS Prince of Wales. Kapal ini adalah bagian dari skuadron angkatan laut Inggris Force Z, yang dibentuk untuk melindungi kepentingan-kepentingan kolonial Inggris di Asia Tenggara. Gugus laut ini dihancurkan oleh pesawat tempur Jepang pada tahun 1941. Berbagai laporan menunjukkan bahwa penyelamatan ilegal HMS Prince of Wales, maupun HMS Repulse yang ada di dekatnya, sedang berlangsung.