Tarian dibuka dengan kondisi panggung yang gelap total, lalu terdengar soundbite hentakan kaki dari arah tengah panggung, sampai kemudian lampu sorot perlahan intensitasnya dinaikan.
Terlihat seorang penari mengenakan cawat berwarna merah menghentak-hentakkan kakinya di tengah panggung. Hentakan kakinya membentuk irama, yang kemudian bergabung dengan musik latar yang perlahan masuk.
Irama hentakan kaki itu yang kemudian menjadi jiwa dari tarian itu: begitu ritmis dan membius.
“Greaaat dance! Incredible, like a dream!”, kata seorang penonton yang saya tanya soal tarian itu. Ia juga menyampaikan ritme hentakan kaki para penari seperti membawanya ke alam mimpi.
Gerakan dan irama hentakan kaki yang dibangun dari tarian itu seperti mengajak penonton untuk ikut menari. Dan ini terbukti, saat penonton memberi standing ovation mereka juga menghentak-hentakkan kakinya seperti irama hentakan kaki para penarinya.
Suasana gedung pertunjukan pun riuh oleh hentakan-hentakan. Bahkan beberapa penonton terlihat ikut menggerakan tangan seperti gerakan penarinya. Air mata haru saya tak tertahankan menyaksikan ini.
Eko mengakui kalau Cry Jailolo adalah karya masterpiecenya. “Perlu dua tahun untuk menciptanya,” begitu terangnya. Ia baru merasakan nyaman tarian ini dibawakan setelah pentas ke sepuluh kalinya. Katanya, “Sebuah tarian tak langsung jadi, perlu proses panjang.”
(Baca juga: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong)
Para penarinya pun bukan penari tradisional, tapi pemuda asli Jailolo yang dilatih terus menerus. Sebagian di antaranya adalah korban konflik yang telah memporak-porandakan Maluku. Dari usia belasan tahun sampai kini para penarinya berusia dua puluh tahunan.
Sesaat setelah pementasan publik diberi waktu untuk tanya jawab dengan Eko dan para penarinya. Cry jailolo adalah bentuk keprihatinan Eko akan alam Halmahera yang dirusak oleh tangan-tangan manusia.
Karya menceritakan tentang kekayaan kehidupan bahari yang terancam. Oleh bom-bom yang meluluhlantakan terumbu karang dan oleh keserakahan manusia yang berkuasa di atasnya.
Cry Jailolo adalah tangisan Eko. Dan malam itu di gedung pertunjukan Pumpenhaus, Munster di negeri Jerman, menjelma juga menjadi rembesan air mata saya dan beberapa orang Indonesia hadir. Kami menjadi saksi Cry Jailolo menyihir publik Eropa.