Wologai, Kampung Adat Berusia 800 Tahun

By , Sabtu, 2 Desember 2017 | 10:00 WIB

“Tiap suku mempunyai bentuk bangunan rumah adat yang sama namun memiliki ciri khas yang berbeda seperti ukiran yang ada pada tiang kayu bangunannya,” jelas Leta. “Dahulu pun atap rumah tidak boleh dari ijuk tetapi alang-alang. Tapi sekarang banyak yang mempergunakan ijuk, sebab jika pakai alang-alang maksimal 3 tahun sekali atapnya harus diganti. Sementara kalau dengan ijuk bisa bertahan puluhan tahun.”

Rumah adat Wologai yang berbentuk kerucut dengan atap ilalang dan ijuk yang didirikan di atas pondasi batu ceper. (Ebed de Rosary/Mongabay indonesia)

Menurut Leta, untuk membangun rumah adat tidak boleh sembarang. Perlu didahului dengan ritual adat Naka Wisu. Yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu perlu menyembelih seekor ayam.

Demikian pula dengan keberadaan Kampung Adat Wologai. Leo menjelaskan masyarakat masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan turun-temurun.

(Baca juga: Menjelajahi Bumi Flores dari Barat ke Timur)

Dalam setahun jelasnya di Kampung Adat terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana  selama 7 hari masyarakat tidak menjalankan aktivitas hariannya.

“Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktifitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lainnya. Mirip upacara Nyepi di Bali,” jelasnya.

Setelah melewati berbagai upacara, maka komunitas adat akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran di sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol mengucap kegembiraan dan kebersamaan.

Artikel ini pernah tayang di mongabay.co.id dengan judul Wologai, Kampung Adat Keren yang Telah Berusia 800 Tahun