Dampak Pemanasan Global di Negeri Sinterklas

By , Rabu, 27 Desember 2017 | 14:30 WIB

Lapland dibayangkan sebagai negeri ajaib yang penuh salju dan tempat tinggal para rusa kutub, peri, dan Sinterklas. Namun, di kehidupan aslinya, Lapland menghadapi ancaman pemanasan global yang suram.

Selain menjadi nama provinsi di Swedia dan Finlandia, Lapland merupakan nama Inggris dari wilayah yang sebagian besar berada di atas Lingkaran Arktika. Membentang di utara Norwegia, Swedia, Finlandia dan Rusia.

Para peneliti telah mengungkapkan dampak tidak proporsional dari perubahan iklim di Arktika – ketika suhu udaranya meningkat dua kali lipat dari tingkat rata-rata di dunia.

Wilayah di utara ini tengah menanggung beban pemanasan global. Populasi Lapland yang bergantung pada iklim kutub untuk kebutuhan hidupnya pun mulai merasakan dampaknya.

Perubahan iklim yang dramatis

Dr. Stephanie Lefrere pertama kali datang ke Lapland 18 tahun yang lalu untuk mempelajari tingkah laku rusa kutub. Selain itu, ia juga mengobservasi perubahan iklim dramatis di wilayah tersebut dan dampaknya pada satwa liar.

“Pada kerja lapangan pertama saya, sekitar 300 kilometer di utara Lingkaran Arktika, suhunya mencapai -20 derajat celcius pada 31 Oktober. Kita tidak pernah mengalaminya lagi,” kata dr. Stephanie.

(Baca juga: Tak Hanya Mencairnya Es, Efek Rumah Kaca Juga Picu Terjadinya Erupsi Gunung Api

“Baru-baru ini bahkan terjadi ‘Black Chrismast’ di mana tidak ada salju sama sekali di bagian selatan Finlandia,” tambahnya.

Lebih dari satu dekade bekerja di wilayah tersebut, memperkuat pandangan dr. Stephanie bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang luas pada lingkungan Lapland. Di antaranya mempengaruhi rute migrasi, habitat dan tingkah laku hewan yang tinggal di sana.

“Merupakan cita-cita saya sejak kecil untuk mengunjungi Lapland. Hancur rasanya melihat perubahan terjadi dengan sangat cepat,” kata dr. Stephanie.

Dampak bagi rusa kutub

Pola cuaca yang tidak dapat diprediksi dan hujan yang menggantikan salju di musim dingin, membentuk kerak-keras es di tanah. Padahal, seharusnya, itu adalah lapisan salju yang lembut.

Rusa kutub yang biasanya mendapatkan makanannya dengan menggali ke dalam salju dan makan rumput pun, akhirnya tidak lagi mampu untuk mencium bau makanan di bawah es.

“Anda bisa mendengar hewan ternak itu mati kelaparan karena mereka tidak bisa menemukan makanannya,” kata Janie Staffansson, ahli kimia lingkungan dan aktivis bagi orang-orang Sami di Lapland.

Kehidupan orang-orang Sami di Lapland, berotasi di sekitar rusa kutub. Namun saat ini, Janie memperkirakan hanya sekitar 10 persen orang-orang Sami yang menjadi penggembala atau pemilik rusa kutub.

“Ini menyulitkan secara fisik dan mental bagi mereka, karena ditantang untuk membuat rusa kutub selalu aman dan bahagia. Apalagi, ditambah kewajiban untuk  melawan perubahan iklim di waktu yang bersamaan,” papar Janie.

Merusak kesan ‘winter wonderland’

Bukan hanya orang-orang Sami di Lapland yang terpengaruh oleh perubahan iklim. Di Finlandia utara, pariwisata merupakan pondasi ekonomi daerah, namun suhu yang semakin menghangat, mengancam gambaran ‘winter wonderland’ mereka.

Baru-baru ini dilaporkan bahwa terlambatnya kedatangan salju di wilayah tersebut mengganggu beberapa aktivitas musim dingin.

(Baca juga: Lima Langkah Mudah untuk Bantu Perangi Perubahan Iklim)

Alhasil, beberapa industri pariwisata di Finlandia pun melakukan diversifikasi penawaran. Mereka mulai mengembangkan aktivitas musim panas. Padahal, selama ini, Finlandia dikenal sebagai tujuan wisata musim dingin.

Terlepas dari kesan Natal-nya, Finnish Environment Institute memperkirakan, perubahan iklim dapat mempengaruhi minat penggemar olahraga musim dingin untuk mengunjungi Finlandia.

Sebuah studi yang dilakukan oleh dr. Tervo-Kankare dan timnya menunjukkan bahwa bisnis wisata Natal mulai gelisah akan hal ini. Para turis kurang bereaksi dengan baik terhadap tawaran mereka.

“Berhubungan dengan proyeksi perubahan iklim, menjaga image  tentang negeri yang diselimuti salju adalah hal mustahil. Bisa jadi Lapland tidak lagi dikenal sebagai destinasi wisata Natal,” pungkas dr. Tervo-Kankare.