Gunung berapi di Papua Nugini yang dikira tidak aktif, meletus untuk pertama kalinya dalam sejarah. Ia memuntahkan abu setinggi ribuan kaki ke udara dan memaksa ratusan warga untuk segera mengungsi.
Gunung berapi setinggi 365m di Pulau Kadovar ini, mulai erupsi sejak Jumat (5/1) lalu. Para ahli khawatir erupsi tersebut berpotensi menyebabkan tanah longsor dan tsunami.
“Melihat curamnya pulau itu, ada kemungkinan akan terjadi tanah longsor yang berbarengan dengan sifat ekplosif magma. Tsunami juga bisa terjadi,” tulis Pusat Vulkanologi Rabual dalam sebuah keterangan.
500 penduduk mengungsi
Cheyne O’Brien, pengamat cuaca di Darwin Volcanic Ash Advisory Centre, mengatakan bahwa awan abu membumbung setinggi 2,133 meter -- dengan asap debu yang terbang ke arah barat laut.
“Emisi abu vulkanik terjadi terus menerus saat ini,” ujarnya.
(Baca juga: Gunung Agung Meletus, 43 Ribu Jiwa Mengungsi)
O’Brien menambahkan, asap debu tersebut tidak membahayakan penerbangan. Namun, jika ternyata angin berbalik arah menuju bandara Wewak, maka jadwal penerbangan bisa dihentikan.
Menurut data dari lembaga amal Samaritan Aviation, lebih dari 500 penduduk telah diungsikan dari Pulau Kadovar dan tidak ada korban jiwa dalam bencana ini.
“Kami belum memiliki rincian mengenai lokasi semua pengungsi. Kami berharap bisa menemukan informasi selengkapnya dengan cepat,” kata organisasi tersebut melalui laman Facebooknya.
Tertulis dalam sejarah
Chris Firth, ahli gunung api dari Macquarie University mengatakan, tidak ada catatan erupsi sebelumnya dari Kadovar.
(Baca juga: Bahaya Abu Vulkanik Bagi Penerbangan)
Meskipun begitu, para ilmuwan berspekulasi bahwa Kadovar merupakan salah satu dari dua ‘pulau terbakar’ yang disebutkan dalam jurnal milik William Dampier, seorang bajak laut dan petualang abad ke-17 asal Inggris.
Dampier mungkin telah mencatat erupsi terakhir Kadovar selama pelayarannya mencari ‘Terra Australis’, benua selatan yang pernah dianggap sebagai mitos.
Erupsi gunung api di Kadovar ini, membuat para ahli mulai tertarik mempelajari perilakunya.
“Meskipun sangat sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi karena tidak ada perbandingan dengan erupsi sebelumnya,” pungkas Firth.