Akibat Polusi Suara, Burung Alami Stres Kronis

By , Kamis, 11 Januari 2018 | 14:00 WIB

(Baca juga: Burung Paling Sensitif Terhadap Perubahan Iklim)

Semakin keras suara dari kompresor gas, semakin rendah tingkat kortikosteron burung-burung tersebut. Hasil ini konsisten pada burung dewasa maupun anak-anak dari ketiga spesies tersebut.

Temuan tersebut kemudian menjadi fokus bila dibandingkan dengan penelitian laboratorium tentang stres kronis. Tingkat kortikosteron yang rendah bisa jadi adalah pertanda bahwa stres begitu kuat, sehingga tubuh telah mematikan tingkat dasar hormon sebagai perlindungan diri.

"Mulanya, Anda mungkin melihat hasil ini dan menganggap berarti mereka (burung tersebut) tidak stres," ungkap Christopher Lowry, co-author penelitian ini.

"Tapi apa yang kita pelajari dari penelitian manusia dan hewan pengerat adalah dengan pemicu stres yang tak terhindarkan, termasuk gangguan stres pasca-trauma pada manusia, hormon stres sering kali rendah secara kronis," sambung ahli fisiologi stres dari CU Boulder tersebut.

Sedangkan, saat menguji respon anak burung terhadap ancaman yang tiba-tiba, para peneliti menemukan bahwa tingkat hormon stres mereka meroket dan lambat untuk kembali ke awal. Hubungan antara tingkat kortikosteron yang rendah kemudian mengalami lonjakan abnormal pada pemicu stres akut juga paralel dengan penelitian stres kronis pada manusia dan hewan pengerat, ungkap Guralnick.

"Ini adalah keselarasan rapi antara dua jenis literatur yang sama sekali berbeda, studi tentang stres serta tentang konservasi dan fisiologi," ungkap Guralnick.

"Hubungan antara kadar hormon rendah dan tinggi ini membantu menjelaskan mengapa data tentang kortikosteron dari studi fisiologi konservasi sbeelumnya tampak ada di mana-mana. Ini membantu menerangkan pola dasar dan menyarankan paradigma baru bagaimana kebisingan memengaruhi satwa liar,' imbuhnya.

(Baca juga: Burung Bisa Tidur Ketika Sedang Terbang)

Tingkat kebisingan di ladang gas alam mungkin tidak lebih keras dibandingkan dengan polusi suara yang diciptakan manusia. Tapi tetap saja, hal ini memiliki implikasi penting untuk melindungi satwa liar dan mungkin kesehatan manusia, ungkpa peneliti.

"Penelitian ini menunjukkan bahwa polusi suara mengurangi habitat hewan dan secara langsung memengaruhi kebugaran mereka dan pada akhirnya jumlahnya," ujar Guralnick.

Para peneliti menyebut peningkatan 10 desibel pada kebisingan di atas tingkat alami bisa menecilkan area pendengaran hewan hingga 90 persen.

"Mendengar adalah sistem pengawasan universal di antara hewan bertulang belakang, termasuk manusia," ungkap Clinton Francis, co-author penelitian ini.

"Mendengar merupakan indera yang tetap aktif bahkan saat tidur dan peristiwa ketidaksadaran lainnya. Karena kita (manusia) dan hewan lain bergantung pada indera ini, mungkin tidak terlalu berlebihan jika mungkin ada dampak fisiologis yang mirip terhadap manusia," sambung profesor biologi di California Polytechnic State University tersebut.

Artikel ini pernah tayang di Kompas.com. Baca artikel sumber.