Baca juga: Terlalu Dingin, Empat Hiu Ditemukan Mati Membeku
Ada lagi contoh sulit, yaitu gambar-gambar bentrokan (adversarial images) yang dirancang khusus untuk mengecoh algoritme penglihatan komputer, meskipun manusia tidak memiliki masalah dengan gambar tersebut.
Algoritme dan program komputer saat ini sedang berusaha menyamai kemampuan manusia dalam memahami bahasa dan memproses gambar visual.
Flickr/Janaina C Falkiewicz, CC BY
Tetapi Google dan perusahaan teknologi lain ingin lebih baik dalam hal ini, untuk mengembangkan produk mereka dan kemampuan mereka untuk memeras pola statistik dari sejumlah data besar.
Teknologi butuh ilmu saraf
Itulah alasan mereka merekrut orang-orang dari wilayah ilmu saraf mengumpulkan tenaga yang memahami bagaimana otak biologis melakukan komputasi.
Misalnya, awal tahun ini Uber merekrut Zoubin Ghahramani, pakar di bidang pembelajaran mesin (machine learning) dan mantan ilmuwan saraf, untuk menjadi ilmuwan utama mereka.
Demis Hassabis, pendiri start-up DeepMind (kemudian dibeli Google seharga lebih dari £400 juta) yang juga memiliki latar belakang dalam pemrosesan saraf, juga baru-baru ini membanggakan bahwa ia baru saja merekrut pekerja dari bidang ilmu saraf.
Excited to announce Matt Botvinick (Princeton) https://t.co/ytthPiDl26 has joined #DeepMind to push the envelope of our neuroscience efforts
— Demis Hassabis (@demishassabis) May 21, 2016
Ini hanya contoh dari kasus-kasus terkemuka; ada yang lain yang dipekerjakan dari posisi PhD dan pascadoktoral yang tidak masuk berita besar. Riset di bidang artificial intelligence di Google mulai menunjukkan hasil, dengan meningkatnya jumlah artikel yang diterbitkan di jurnal akademis.
Berpikir biologis
Otak biologis bekerja dengan cara sama sekali berbeda dengan komputer. Otak kita bekerja paralel, menggunakan kekuatan dari sejumlah besar elemen yang relatif sederhana dan lambat secara bersamaan. Setiap neuron terhubung dengan neuron lainnya sehingga di dalam otak manusia ada sekitar sejuta miliar koneksi.