Transisi demografis, yang telah berfungsi dengan baik untuk memprediksi perubahan dalam dua abad terakhir, akan kurang berguna untuk masa depan yang masih jauh ini. Ada banyak ketidakpastian mengenai fertilitas masa depan.
Bila keluarga kecil menjadi model yang dominan dalam jangka panjang, dengan rata-rata fertilitas kurang dari dua anak per perempuan, maka populasi dunia, setelah memuncak di angka 10 miliar, secara bertahap akan turun ke titik kepunahan.
Namun ada kemungkinan skenario lain, yakni ketika fertilitas membaik di negara-negara yang sekarang ini sangat rendah, akhirnya membuat stabil di angka lebih dari dua anak per perempuan di seluruh dunia. Ini akan menghasilkan pertumbuhan yang terus menerus, dan sekali lagi umat manusia punah, kali ini akibat overpopulasi.
Jika kita tidak bisa menghindarkan diri dari skenario bencana ini melalui kekurangan atau kelebihan populasi, maka kita harus membayangkan sebuah skenario mengenai keseimbangan terakhir.
Baca juga: Gurun Sahara Kembali Diselimuti Salju
Gaya hiduplah yang penting
Manusia tentu harus mulai berpikir sekarang tentang kebutuhan akan keseimbangan jangka panjang, tapi beberapa dekade ke depanlah yang menjadi perhatian paling penting.
Populasi dunia mau tak mau meningkat 2-3 miliar dari sekarang hingga 2050 akibat inersia demografi yang tak bisa dicegah seorang pun. Meski demikian, kita memiliki kekuatan untuk mengubah cara hidup kita, dan lebih menghargai lingkungan serta lebih efisien menggunakan sumber daya alam.
Kelangsungan hidup manusia jangka panjang lebih dipengaruhi oleh pilihan gaya hidup ketimbang ukuran populasi.
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.