Co-working Space Dorong Inovasi Sekaligus Kesenjangan Digital

By , Kamis, 1 Februari 2018 | 13:00 WIB

Ruang-ruang kreatif yang didukung oleh dana venture capital biasanya lebih maju dalam perencanaan bisnis mereka. Hal ini mengkompensasi ketidakmampuan mereka untuk menjangkau pekerja dan komunitas kreatif yang ada. Perbedaan antara co-working space yang didukung investor dan yang tumbuh dari komunitas kadang menciptakan jarak antara para coworking space ini. Ada perbedaan persepsi dan prinsip di dalamnya, meski kolaborasi menjadi tumpuan mereka dalam mengelola sektor yang masih sangat muda ini.

Ruang-ruang ini juga berpotensi menjadi sumber ketimpangan digital. Seperti telah dibahas oleh beberapa penulis, ruang-ruang kerja bersama ini bisa menjadi ruang-ruang “wirausahawan digital yang terisolasi” tanpa hubungan yang nyata dengan sektor-sektor lain. Dalam konteks ini, coworking space bisa jadi justru memperparah ketimpangan yang sudah lama terlihat dalam hal infrastruktur, akses, dan peluang.

Di sinilah pemerintah dapat berperan untuk memperkecil kesenjangan. Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif sebaiknya mengintervensi dengan mendirikan lebih banyak pusat-pusat kreatif di luar kota-kota besar di Indonesia.

Tantangan dan peluang

Pemilik pusat-pusat kreatif “akar rumput” secara umum sangat tangguh. Mereka belajar beradaptasi dengan situasi dari sejak awal, seringkali melalui kesulitan yang berat. Karena pasarnya masih labil, manajer pusat-pusat kreatif memiliki kerja berat membangun produk mereka dari nol, memperkenalkan konsep pusat kreatif kepada pelanggan mereka sembari setia pada nilai-nilai yang mereka pegang.

(Baca juga: Langkah-langkah Menciptakan Tempat Kerja yang Sehat Bagi Mental)

Keberlangsungan pendanaan menjadi masalah yang paling utama untuk dipecahkan karena pasar masih harus diperkenalkan pada jasa yang ditawarkan co-working space. Ini memaksa mereka untuk berlaku kreatif dalam menjalankan operasi mereka. Menurut survei yang kami lakukan pada 2017, pendapatan utama pusat-pusat kreatif didapatkan dari pemasaran program (contohnya pelatihan, seminar, dsb) karena kesulitan menarik pendapatan tetap dari iuran pelanggan co-working space.

Di tengah tantangan-tantangan ini, manajer ruang kreatif menunjukkan optimisme yang tinggi mengenai masa depan mereka.

Dari survei kami, rata-rata tingkat optimisme pengelola creative hub ada pada skor 8,275 dari skala 0-10. Optimisme yang layak disebarluaskan, seandainya sektor ini dapat pula mendorong praktik yang lebih inklusif bagi para pelakunya.

Fajri Siregar, PhD Candidate, University of Amsterdam

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.