Psikolog: Stop Gunakan Sebutan Orang Gila!

By , Senin, 5 Maret 2018 | 15:00 WIB

Sejak Desember tahun lalu hingga Februari 2018, penyerangan terhadap pemuka agama terjadi 21 kali di berbagai tempat, 15 kali (71%) di antaranya dilakukan oleh orang yang diduga mengalami gangguan jiwa.

Dalam pemberitaan mengenai penyerangan beruntun pemuka agama, banyak tokoh masyarakat maupun media melabeli terduga pelaku dengan sebutan “orang gila”.

Baca juga: Temuan Baru Ungkap Tanda-tanda Awal dari Ganguan Bipolar

Tepatkah penggunaan kata “gila” dalam konteks tersebut?

Apa arti kata ‘gila’ dan ‘sakit jiwa’

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada lima pengertian kata “gila”, yaitu:

  1. sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal);
  2. tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal);
  3. terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); ungkapan kagum (hebat);
  4. terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, cinta, kasih sayang);
  5. tidak masuk akal.

Dari lima pengertian kata “gila”, ada satu yang merujuk pada “sakit jiwa” dan inilah yang akan saya bahas dalam artikel ini.

Bila kita menggunakan kata gila dalam konteks gangguan jiwa, maka kita perlu paling tidak memahami sedikit mengenai klasifikasi gangguan jiwa. Klasifikasi gangguan jiwa ditentukan berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman praktik yang dituangkan dalam buku panduan klasifikasi gangguan jiwa.

Negara-negara di dunia dapat memiliki buku panduan yang berbeda, walau isi buku panduan antarnegara cenderung sama. Misalnya, di Amerika Serikat, dokter dan psikolog menggunakan buku panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5®) yang diterbitkan pada 2013 oleh American Psychiatric Association.

Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, dokter dan psikolog menggunakan buku panduan International Classification of Disease-10 (ICD-10) yang diterbitkan oleh World Health Organisation (WHO) pada 2016, khususnya Bab V bagian Mental and Behavioral Disorders (Gangguan Mental dan Perilaku). Buku panduan tersebut dibuat sesuai dengan sistem medis di negara-negara tersebut.

Di Indonesia terdapat buku panduan berjudul Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-3) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 1993. Diagnosis gangguan jiwa oleh dokter jiwa (psikiater) di Indonesia harus mengikuti buku panduan PPDGJ-3 dan ICD-10 atas dasar Keputusan Menteri Kesehatan pada 2015.

Psikolog juga bisa mendiagnosis gangguan jiwa, tapi di Indonesia belum ada produk hukum yang melindungi baik psikolog maupun konsumennya. Kini saya bersama dengan tim operasional dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sedang menyusun Naskah Akademik untuk membuat Rancangan Undang-Undang Profesi Psikologi yang rencananya akan selesai tahun ini.

Baca juga: Peneliti: Kecerdasan Buatan Berisiko Disalahgunakan oleh Peretas

Beragam jenis gangguan jiwa

Kalau kita mengintip ICD-10, kategori gangguan jiwa sangat beragam. Di ICD-10 ada kategori mengenai sindrom ketergantungan dari kategori gangguan jiwa dan perilaku karena penggunaan tabak (merokok). Seseorang dapat mendapatkan diagnosis ini kalau ia adalah seorang perokok dan tidak bisa berhenti merokok, walau ingin berhenti. Ia sakit jiwa, tapi apakah dia “gila”?