Badan Kesehatan Sedunia WHO baru-baru ini menyatakan 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia menderita “stunting” atau bertubuh pendek. Ini berarti sekitar 35,6 persen atau jauh di atas batas toleransi “stunting” yang ditetapkan WHO yaitu maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Khusus di Indonesia, 18,5 persen balita bahkan dikategorikan sangat pendek dan 17,1 persen dikategorikan pendek. Walhasil WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.
Persentase Balita “Kontet” Tertinggi adalah NTT dan Sulawesi BaratRiset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2007, 2010 dan 2013 menunjukkan persentase status gizi balita bertubuh pendek (pendek dan sangat pendek) menunjukkan adaya perbaikan, meskipun tidak signifikan. Jika pada tahun 2007 terdapat 36,8 persen balita yang kontet, pada tahun 2010 membaik menjadi 35,6 persen. Namun pada tahun 2013 kembali meningkat menjadi 37,2 persen. Persentase balita “kontet” tertinggi ada di Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48%) dan Nusa Tenggara Barat (45,3%). Sementara yang terendah adalah di Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%).
Baca juga: Musik Heavy Metal Picu Gangguan Mental?
Pemantauan Status Gizi yang dilakukan sangat fokus oleh Kementerian Kesehatan tahun 2015 menunjukkan 29 persen balita Indonesia mengalami “kontet”, dengan persentase tertinggi di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.
Zumrotin, anggota Dewan Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) – institusi yang mengatur “compact grant” atau semacam hibah yang diberikan pemerintah Amerika kepada Indonesia untuk mengurangi kemiskinan melalui program-program pertumbuhan ekonomi selama lima tahun – mengatakan ‘’stunting’’ disebabkan karena kekurangan gizi, ketiadaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan kemiskinan; tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa ‘’stunting’’ juga diakibatkan oleh perkawinan anak.
"Kedua, tidak dapat dimungkiri bahwa stunting itu disebabkan karena – perkawinan anak. Bayangkan usia 17 tahun sudah hamil, padahal hingga usia 21 tahun ia masih membutuhkan gizi maksimal. Tetapi karena sudah hamil, tubuhnya berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya.Hasilnya lahir bayi dengan berat badan rendah atau ibu tidak paham memberi gizi pada anak. Kami menekankan agar setiap daerah menghilangkan atau mengurangi kawin anak, sehingga stunting bisa perlahan-lahan hilang,” ujarnya.Namun hal sebaliknya disampaikan oleh Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, ia menyangkal “stunting”diakibatkan oleh perkawinan anak.
“Sebetulnya tidak bisa dikatakan begitu. Mungkin kalau indirect (tidak langsung, red.) bisa. Di Indonesia ada yang pendek gemuk, pendek normal dan pendek kurus. Yang masalah adalah yang pendek kurus. Angkanya di seluruh Indonesia adalah 37-38 persen. Penduduk kita dari Sabang sampai Merauke, saya minta data dan coba analisa. Penduduk anak yang paling tinggi di Bali, yang paling pendek di Papua dan bedanya hampir 10 sentimeter. Nomor dua paling pendek ada di NTT. Jika data WHO dan lain-lainnya, “stunting” ini diakibatkan oleh gizi kronik dan ini kompleks. Bagaimana anak menjadi seperti itu, kita harus mundur ke soal gizinya pada 1.000 hari pertama kehidupan, atau pas kelahiran dimana begitu banyak anak lahir dengan berat badan rendah, dan breastfeeding yang tidak mencukupi, kemiskinan dll. Memang tidak serta merta disebutkan karena perkawinan dini. Tetapi bisa mempengaruhi dan saling terkait satu sama lain. Jadi ini memang kompleks,’’ ujar Aman.
Baca juga: Awas! Terlalu Lama Menonton TV Picu Kanker Usus pada Pria
UNICEF Siap Teliti Kaitan Tingginya Stunting dengan Perkawinan AnakDilansir dari voaindonesia.com, Wakil UNICEF di Indonesia Lauren Rumble mengatakan meskipun belum ada data persis yang menunjukkan kaitan langsung antara perkawinan anak dan “stunting” atau bertubuh pendek, bukan berarti tidak ada.
“Kami benar-benar yakin ada hubungan antara perkawinan anak dan “stunting”, tetapi kita harus melakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia untuk melihat apakah ada kaitan khusus dan faktor-faktor lain di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Anda memiliki negara yang luas dan sangat beranekaragam. Kita tahu ada praktik perkawinan anak dengan latar belakang berbeda di daerah berbeda, tetapi ada pula hal-hal yang sama seperti agama dan norma yang melatarbelakangi perkawinan anak di daerah pedalaman, sehingga sedianya ada solusi bersama yang bisa dicapai,” kata Lauren.
Dengan Dana Hibah AS, Indonesia Laksanakan Tiga Program Utama, Termasuk Mengurangi StuntingLewat proses seleksi yang sangat kompetitif, Indonesia pada 19 November 2011 terpilih menerima “Millenium Challenge Compact Grant" atau hibah dari pemerintah Amerika bernilai 600 juta dolar. Hibah terbesar dari pemerintah Amerika dalam 30 tahun terakhir bagi Indonesia ini telah digunakan untuk mendanai tiga proyek penting yaitu “green prosperity” yang diwujudkan dalam bentuk program pertanian dan perkebunan, proyek kesehatan dan gizi berbasis komunitas untuk mengurangi “stunting” dan proyek modernisasi pengadaan.
Sesuai perjanjian yang ditandatangani antara perwakilan pemerintah kedua negara, Indonesia harus menyelesaikan berbagai program dalam ketiga bidang itu selama lima tahun, yaitu antara tahun 2013-2018. Terkait dengan proyek mengurangi “stunting” ini, Zumrotin – selaku salah satu anggota dewan MCAI – mengatakan banyak pihak yang sebenarnya harus diikutsertakan.
“Stunting tidak bisa diselesaikan oleh Depkes saja, harus ada keterlibatan Depdikbud supaya anak-anak didorong untuk tidak segera menikah, dan juga Departemen Pekerjaan Umum karena erat kaitannya dengan sanitasi yang baik. Karena meskipun sekarang sudah 2018, di Ogan Komering Ilir (OKI) misalnya tidak semua orang punya sanitasi. Warga di OKI melakukan MCK (mandi-cuci-kakus.red) di kali dan sekaligus mencuci beras atau mengambil air minum. Bayangkan coba!,” papar Zumrotin.
Upaya Atasi Stunting Membutuhkan Peran Laki-LakiLebih jauh mengutip dari Voaindonesia.com, Zumrotin mengatakan perempuan dan anak perempuan tidak bisa menjadi satu-satunya faktor yang diintervensi untuk mengatasi “stunting”, tetapi juga laki-laki.
“Kami melihat bahwa untuk mengatasi stunting dibutuhkan peran laki-laki. Kami lihat di golongan masyarakat miskin, penghasilan dihabiskan untuk : pertama, beras – beras saja lho tidak untuk membeli kebutuhan protein dll; kedua, rokok; ketiga, pulsa. Pendidikan dan kesehatan ada di urutan keenam dan ketujuh. Coba bayangkan jika laki-laki tidak merokok, satu bungkus Rp20.000 itu bisa digunakan untuk membeli telur bagi anaknya. Jika seorang laki-laki perokok diberitahu tentang bahaya merokok bagi kesehatan, ia pasti berkilah
“saya sudah menghitung resikonya” tetapi bagaimana jika kampanye yang kita lakukan adalah “tanpa gizi baik anaknya akan stunting” mungkin sikapnya akan berbeda. Jadi Anda betul, ini harus menjadi gerakan laki2. Kedua, laki2 tidak boleh melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga.red) karena mengakibatkan ibu yang sedang menyusui anaknya akan terpengaruh, susu tidak keluar, padahal bayi sangat membutuhkan gizi yang banyak dalam kandungan ASI. Tapi karena ibunya kena KDRT, ASI-nya tidak maksimal. Jadi memang usaha mencegah stunting ini harus jadi gerakan,” jelas Zumrotin panjang.
Sejumlah penelitian menunjukkan “stunting” menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, keterlambatan perkembangan bahasa dan kecerdasan motorik halus; yang secara keseluruhan akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan kapasitasnya kelak. Mengakhiri perkawinan anak, meskipun dinilai tidak memiliki kaitan langsung dengan “stunting”, tetap penting untuk membantu memutus siklus masalah kesehatan dan kemiskinan antar-generasi ini. Dan menjadi tugas bersama untuk mencapai sasaran mengurangi 40% jumlah balita pendek selambat-lambatnya pada tahun 2025.
Artikel ini pernah tayang di voaindonesia.com dengan judul Kawin Anak Picu Banyaknya Anak Indonesia Lahir dengan Tubuh Lebih Pendek?