Teknologi-teknologi Canggih untuk Melawan Kejahatan Satwa Liar

By , Selasa, 13 Maret 2018 | 18:00 WIB

Tersebar di 17 ribu pulau, hutan hujan tropis di Asia Tenggara menjadi tempat tinggal keanekaragaman hayati terbaik di dunia. Mulai dari trenggiling bersisik hingga orangutan yang terancam punah.

Namun, keanekaragaman flora dan fauna yang besar itu juga menjadikan Indonesia sebagai sasaran perdagangan satwa ilegal (senilai 23 juta dollar AS per tahun). Membuat spesies-spesies di sana terancam punah.

Untuk mengatasi masalah tersebut, para konservasionis mulai memanfaatkan gawai untuk melindungi satwa liar langka yang terancam punah.

(Baca juga: Teripang, Si Buruk Rupa dari Perairan Dangkal yang Bernilai Ekonomi Tinggi)

“Tidak diragukan lagi, teknologi menjadi salah satu sumber daya terbesar yang membantu kami menangkap orang-orang jahat,” kata Matthew Pritchett dari kelompok pendukung anti perdagangan satwa, Freeland Foundation.

“Para penjahat di balik perdagangan satwa liar masuk ke dalam organisasi besar yang canggih,” tambahnya.

Agar bisa mengimbangi mereka, aktivis pun mengembangkan teknologi yang dulu digunakan untuk memerangi kartel dan kelompok kejahatan.

Sebagai contoh, Wildlife Conservation Society (WCS), yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mengatasi kejahatan satwa liar, menggunakan software komputer untuk memetakan jaringan kriminal dan mengekstrak data dari perangkat elektronik yang disita.

Melacak jalur perdagangan  

Grup konservasi lingkungan, International Animal Rescue Indonesia (IAR), memeriksa bukti di tempat kejadian perkara (TKP) dengan bantuan barcode DNA – sebuah metode taksonomi yang bergantung pada urutan genetik pendek untuk mengidentifikasi spesies.  

Sampel jaringan dari hewan yang diculik bisa disilang dengan database kode genetik yang tersimpan. Itu bisa membantu membedakan spesies dan subspesies yang tidak terancam punah.

Misalnya, IAR sedang membangun database barcode bagi spesies kukang yang sering diburu untuk dijadikan obat.

“Jika kita memiliki hewan dengan asal usul aslinya, lalu tiba-tiba ia muncul di Jakarta, maka kita bisa membandingkan sampel genetiknya. Selanjutnya, kita bisa melacak titik perburuan dan jalur perdagangan satwanya,” papar Christine Rattel, penasihat program IAR.