Stonehenge: Jejak Perayaan dan Pembangunan Ditemukan Oleh Peneliti

By National Geographic Indonesia, Selasa, 20 Maret 2018 | 12:00 WIB
stonehenge ()

Asal-usul Stonehenge, susunan batu raksasa di Inggris, memang masih misterius. Pembangun dan fungsinya belum sepenuhnya terkuak. Namun, ada temuan menarik baru-baru ini yang bisa membongkar teka-teki tersebut.

Para peneliti menemukan jejak sebuah perayaan atau pesta yang digelar di Stonehenge pada proses pembangunannya. Temuan tersebut membuat ahli percaya bahwa proses memilih, memindahkan, dan mendirikan Stonehenge merupakan bagian dari proses pengumpulan, sosialisasi, dan perayaan manusia setempat.

Menurut para peneliti, orang-orang yang bergabung dalam perayaan itu datang dari berbagai penjuru. Orang-orang rela menempuh jarak ratusan mil untuk berpartisipasi dalam pesta tersebut.

Artikel terkait: Saat Teroris Korbankan Anak Dalam Aksi Bom, Apa yang Bisa Dilakukan?

Jejak perayaan yang ditemukan peneliti adalah piring tanah di sekitar Durrington Walls, desa Neolitik, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Stonehenge. Para ahli memeriksa 38.000 tulang dan gigi. 90 persen di antaranya berasal dari tulang dan gigi babi, sedangkan sisanya dari berbagai ternak lainnya.

Durrington Walls bertahan hanya selama 50-100 tahun, tetapi diyakini telah menampung para pembangun Stonehenge dan menjadi pengunjung pertama setelah batu-batu tersebut tersusun. Mereka menyimpulkan, ternak digiring ratusan mil dari tempat yang jauh, seperti Skotlandia, menuju Stonehenge. Hal ini menunjukkan bahwa pada 2500 Sebelum Masehi, Stonehenge dikenal di seluruh Inggris sebagai tempat ziarah dan perayaan.

"Kemampuan untuk bisa menarik sejumlah besar orang agar datang dari jauh dan mengambil bagian dalam proses pembangunan berpotensi menjadi alat yang ampuh untuk menunjukkan kekuatan komunitas kepada orang luar," kata Susan Greaney, sejarawan senior di English Heritage, kelompok amal yang mengelola ratusan situs budaya Inggris.

Teori baru yang diusulkan sebagai sumber bluestones ditemukan di Stonehenge. Ilustrasi: Richard Bevi (Christantiowati)

Menurut para peneliti, fokus orang-orang Neolitik yang membangun Stonehenge bukan melakukannya secepat dan seefisien mungkin, melainkan melibatkan sebanyak mungkin orang dalam pengalaman komunal tersebut.

Baca juga: Siapa yang Memiliki Tempat Tidur Lebih Bersih: Manusia Atau Simpanse?

Sebagai bahan studinya, Greaney juga membandingkan Stonehenge dengan masyarakat yang juga mempraktikan batu-batu besar, seperti masyarakat di pulau Sumba dan Nias, serta masyarakat di bagian timur laut India.

"Ada banyak foto menakjubkan dari masyarakat di sana dalam 100 tahun terakhir ini saat mereka melakukan pengangkatan dan pemindahan batu. Mereka mengenakan pakaian upacara dan melakukan perjamuan yang menakjubkan, ratusan orang berkumpul dan bersenang-senang," ujar Greaney.

"Begitu Anda melupakan dugaan-dugaan modern mengenai cara masyarakat neolitik membangun Stonehenge seefisien mungkin; pertanyaan-pertanyaan mengenai alasan batu-batu berukuran besar ini dibawa dari tempat yang jauh dan kemudian disusun tampaknya sudah tidak begitu membingungkan lagi," katanya.

Artikel ini tayang di Kompas.com. Baca artikel sumber.