Penulis: Haula Noor/The Conversation
Serangkaian bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur dalam dua hari terakhir merupakan serangan teroris terburuk yang terjadi di Indonesia sejak 2005. Dua keluarga menyerang tiga gereja pada hari Minggu dan satu kantor polisi pada hari Senin, menewaskan sedikitnya 23 orang dan melukai lusinan. Masyarakat kaget dan tak percaya dengan kenyataan bahwa serangan bom itu dilakukan oleh orang tua sambil membawa anak-anak mereka yang akhirnya meninggal dalam aksi tersebut.
Pada hari Minggu, seorang ibu membawa dua putrinya yang berusia 9 dan 12 tahun dan meledakkan bom di Gereja Kristen Indonesia. Dua putranya yang berusia 16 dan 18 mengendarai sepeda motor ke Gereja Santa Maria dan meledakkan diri mereka. Suaminya, Dita Oepriarto yang dilaporkan merupakan pemimpin sel Surabaya kelompok estremis pendukung Islamic State (IS) Jemaah Ansharut Daulah (JAD), mengendarai mobilnya dan membom Gereja Pentekosta.
Pada hari Senin, keluarga beranggotakan lima orang mengendarai dua sepeda motor meledakkan sebuah bom di Mabes Polri Surabaya.
Serangan tersebut mengiyakan peringatan dari analis untuk tidak mengabaikan peran perempuan dalam tindakan terorisme. Pada 2016, polisi menangkap para jihadis perempuan pertama di Indonesia—Dian Yulia Novi, yang menyiapkan bom dan berencana meledakkannya di Jakarta, dan, beberapa hari kemudian Ika Puspitasari di Bali.
Peningkatan peran perempuan dalam ekstremisme kekerasan telah difasilitasi oleh pertumbuhan media sosial, yang digunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk merekrut anggota.
Serangan di Surabaya tidak hanya menunjukkan pergeseran peran perempuan dalam tindakan terorisme, tetapi juga keterlibatan keluarga dalam aksi teror.
IS mungkin sudah menyerah membujuk orang untuk datang ke Suriah, karena pemerintah Suriah telah mengalahkan sebagian besar pejuang IS. Tetapi serangan hari-hari terakhir adalah bagian dari penyebaran ide mengenai jihad yang melibatkan anggota keluarga di tingkat lokal.
Orang-orang terkejut bahwa para pelaku membawa anak-anak mereka dalam aksi teroris mereka.
Meski demikian, ada suatu pilihan rasional orang tua di baliknya yang didasarkan pada keyakinan mereka bahwa imbalan untuk amaliyah (istilah yang digunakan oleh pejihad untuk merujuk pada aksi lapangan) sedang menunggu mereka di akhirat. Mereka percaya mereka akan bersama lagi di surga.
Jika seorang ayah melakukan pengeboman bunuh diri seorang diri, dia akan meninggalkan istri dan anak-anaknya dengan stigma keluarga teroris.
Sementara itu, ketika perempuan mengambil peran yang lebih aktif dalam terorisme, sebagai ibu mereka akan merasa sulit untuk meninggalkan anak-anak mereka tanpa dapat memastikan bahwa anak-anak mereka mengikuti ideologi mereka. Maka, mereka memilih untuk melakukan amaliyah bersama.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR