Hampir Setiap Minggu, Bumi Kejatuhan Satelit

By , Senin, 9 April 2018 | 12:00 WIB

Belakangan ini, masyarakat kerap kali dikejutkan dengan berita mengenai jatuhnya benda buatan manusia ke bumi. Setelah Tiangong-1 yang jatuh di Samudra Pasifik selatan pada Senin (2/4/2018), giliran roket India yang masuk dan terbakar di atmosfer Samudra Atlantik tengah pada Selasa (3/4/2018).

Namun, sebetulnya kita tidak perlu kaget-kaget dengan kembalinya benda buatan manusia ke bumi.

Laporan Solar Dynamic Observatory milik Badan Antariksa AS ( NASA) menunjukkan bahwa sekitar 100 ton sampah antariksa terbakar di atmosfer setiap tahun. Sampah-sampah ini berupa satelit yang sudah tidak digunakan, wahana antariksa yang tidak terkontrol seperti Tiangong-1, atau bagian atas dari roket.

(Baca juga: Ilmuwan India Kehilangan Kontak dengan Satelit Luar Angkasanya)

Mayoritas berupa potongan kecil yang langsung terbakar, sedangkan yang lebih besar bisa mencapai bumi. Secara rata-rata, sampah antariksa besar sampai ke bumi 50 kali dalam setahun. Indonesia sendiri sudah cukup sering kejatuhan sampah antariksa.

Perhitungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) hingga 27 Januari 2009 menunjukkan bahwa Indonesia sudah 7.789 kali kejatuhan serpihan sampah antariksa yang berukuran di atas 10 sentimeter, 3.388 kali untuk satelit, dan 1.820 kali untuk badan roket.

Untungnya, bumi dan tanah air kita mayoritas permukaannya berupa air sehingga sampah-sampah ini kebanyakan jatuh di lautan atau tempat terpencil.

"Banyak yang jatuh di laut, di hutan, mungkin bagi daerah yang punya gurun jatuh di gurun," kata Thomas Djamaluddin, seperti dikutip oleh Kompas.com sebelumnya.

Berdasarkan catatan, hanya satu orang yang pernah kejatuhan sampah antariksa, yaitu seorang wanita Amerika Serikat bernama Lottie Williams. Namun, serpihan roket Delta II yang menjatuhinya begitu kecil sehingga Williams tidak mengalami luka apa pun.

Meski demikian, bukan berarti kita boleh lengah. Jaringan radar militer negara-negara di dunia, NASA, Badan Antariksa Eropa (ESA), LAPAN, dan agensi pelacak satelit, baik independen maupun tidak, terus mengamati obyek-obyek di orbit bumi.

Informasi yang mereka dapatkan kemudian dibagikan untuk memprediksi jadwal kembalinya sampah antariksa ke bumi. Namun, ini jelas cukup sulit untuk dilakukan dan sering kali mengandalkan perkiraan.

(Baca juga: Penganut Teori Bumi Datar Ini Akhirnya Luncurkan Roketnya)

Holger Krag, kepala Space Debris Office milik ESA mengatakan, dengan pengetahuan dan teknologi kita serang, kita belum bisa membuat prediksi yang benar-benar pasti. Akan selalu ada ketidakpastian hingga beberapa jam dalam semua prediksi – bahkan dalam hitungan hari sebelum kembalinya sampah antariksa.