Pada bulan Maret, seorang pengungsi yang melarikan diri dari perang di Afganistan gantung diri di Medan, Indonesia.
Pengungsi dari etnis minoritas Hazara yang berusia 22 tahun tersebut bukan satu-satunya pengungsi di Indonesia yang bunuh diri pada tahun ini.
Sekelompok peneliti melaporkan bahwa badan PBB untuk urusan pengungsi UNHCR menghitung ada 14.337 pencari suaka dan pengungsi di Indonesia pada Juni 2017.
Tidak adanya pekerjaan membuat para pengungsi yang menunggu penempatan di negara ketiga menderita suatu keadaan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwa mereka. Mereka tidak memiliki banyak hal yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu.
Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951. Di Indonesia pengungsi diurus oleh UNHCR. Tapi dukungan yang diberikan badan PBB tersebut terbatas. Pada bulan Juni 2017 ada sekitar 5.700 pencari suaka dan pengungsi yang harus mengurus dirinya sendiri, tanpa adanya kemampuan untuk mendapatkan penghasilan.
Awal bulan ini, Australian Associated Press mengeluarkan esai foto tentang kehidupan pengungsi perempuan dari Somalia. Setelah berhasil melarikan diri dari kekerasan luar biasa di negara asal, para pengungsi ini kemudian menjadi tunawisma dan menderita kemiskinan di Indonesia.
Pada 2016, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sebuah Peraturan Presiden yang mengatur prosedur penanganan pengungsi dari luar negeri di Indonesia. Peraturan tersebut mengakui pencari suaka dan pengungsi adalah orang-orang yang perlu dilindungi.
Namun peraturan tersebut tidak membahas pengasingan pengungsi dari kehidupan bermasyarakat Indonesia. Pengasingan pencari suaka dan pengungsi dari ranah hukum Indonesia menghilangkan bagian penting dari kehidupan mereka sebagai manusia.
Terasing dan tanpa hak
Ahli filsafat politik Hannah Arendt mengajukan konsep “hak untuk memiliki hak” dalam The Origins of Totalitarianism. Dia berpendapat bahwa hak ini memiliki makna:
“ … untuk dapat hidup dalam kerangka di mana seseorang dinilai berdasarkan perilaku dan pendapat mereka …”
Ahli filsafat hukum Nanda Oudejans menggunakan konsep yang dikemukakan Arendt untuk memahami derita pengungsi. Oudejans berargumen:
“Pengungsi bukan saja tidak memiliki dunia dalam artian politis…, keberadaannya juga tak ada dalam ranah hukum.”
Tindakan bunuh diri Hayat, pengungsi dari Afghanistan di atas, dalam pandangan saya, mencerminkan rasa frustasi dari keterasingan ia dari ranah hukum Indonesia dan, pada titik tertentu, dari masyarakat Indonesia.