Potret Para Pengantin Anak yang Terlupakan di India

By , Minggu, 22 April 2018 | 13:00 WIB

Di Shravasti, Khandelwal bertanya kepada salah satu ibu pengantin muda yang juga menikah saat masih anak-anak: “Mengapa menjerumuskan anak Anda ke nasib yang sama?”.

Sang ibu menjawab, ia sebenarnya tidak ingin, namun tak ada pilihan lain. Suaminya adalah buruh harian, sementara dirinya dan anaknya mencari nafkah dengan mengumpulkan kayu bakar. Mereka hidup dari hari ke hari tanpa kepastian. Orangtua merasa, lebih baik menikahkan anak gadis mereka sebelum ada hal lain yang terjadi di luar kendali.

“Jika besok kami kehilangan rumah karena banjir, tidak ada lagi mahar yang bisa diberikan kepada putri kami,” katanya.

Chandni mengintip dari belakang Kisna, keduanya berusia 9 tahun. Kisna sudah menikah selama dua tahun saat ini, tetapi tidak pernah mengetahui nama suaminya. Dibanding sekolah, kedua anak perempuan ini membersihkan rumah setiap harinya. (Saumya Khandelwal)

Khandelwal menemukan fakta bahwa banyak keluarga yang menganggap anak perempuan mereka sebagai kewajiban.

Ia bertemu dengan Muskaan (nama telah diubah demi kepentingan privasi), seorang gadis bersemangat yang memiliki dua saudara perempuan. Khandelwal mengunjunginya berkali-kali.  

“Memiliki tiga anak perempuan artinya harus membayar mahar tiga kali lipat,” ujar Khandelwal.

Beberapa keluarga menunggu untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah sampai ia benar-benar tinggal bersama suaminya. Namun, ketika Muskaan menikah di usia 14 tahun, ayahnya langsung menyetop pendidikannya secepat mungkin. Mulai saat itu, Muskaan hanya berdiam di rumah, belajar memasak dan membersihkan rumah.

Kerabat Muskaan membantunya berhias untuk pernikahannya. Suami Muskaan berusia tujuh tahun lebih tua darinya. (Saumya Khandelwal)

Setelah pernikahan Muskaan, Khandelwal kembali mengunjunginya untuk mengetahui apa yang ia rasakan.

“Apa yang dikatakan Muskaan membuat saya sedih. Muskaan berkata: ‘Apa yang harus dirasakan? Ini sudah seharusnya terjadi.’ Itu menunjukkan betapa tidak berdayanya gadis-gadis muda di sana. Mereka bahkan tidak tahu kalau wanita juga bisa memiliki karier,” cerita Khandelwal.

(Baca juga: Bagi Para Buruh Pakistan di Dubai, Gulat Kushti Adalah Kehidupan)

Ada beberapa pengantin muda yang ditinggalkan sendiri setelah menikah. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di desa kecil. Oleh karena itu, para suami biasanya mencari peruntungan di di kota besar. Sang istri terpaksa harus tinggal bersama mertua. Pengantin baru tersebut pun hanya berkomunikasi via telepon.

“Apa yang bisa diharapkan dari anak berusia 15 tahun tentang pernikahan atau mengurus rumah? Mereka kurang berpendidikan dan itu akan terulang pada anak-anak mereka sendiri. Para pengantin muda ini tidak memiliki uang. Dapatkah mereka keluar dari siklus yang sangat jahat tersebut?” kata Khandelwal.

Setelah 2,5 tahun menghabiskan waktu utnuk memotret pengantin anak di Shravasti, Khandelwal juga melihat praktek ini terjadi hampir di semua wilayah India – termasuk kota metropolitan seperti New Delhi.