Benarkah Perilaku Hewan Bisa Menjadi Tanda Akan Terjadi Gempa Bumi?

By National Geographic Indonesia, Senin, 23 April 2018 | 13:00 WIB
Gajah-gajah hutan berkumpul di Suaka Khusus Dzanga-Sangha, sebuah suaka margasatwa bagi hewan ini. P (Rahmad Azhar)

Nationalgeographic.co.id - Cerita tentang hewan yang berubah perilaku ketika bencana akan datang cukup umum di Indonesia. Mulai dari hewan yang turun gunung, cacing yang keluar dari tanah, atau hewan ternak yang gelisah sering diartikan sebagai salah satu tanda gempa bumi.

Namun, benarkah perilaku hewan-hewan ini bisa dijadikan patokan sebagai tanda akan terjadinya gempa bumi?

Sebenarnya, berbagai penelitian telah mencoba menggali ke dalam statistik di balik perilaku hewan yang tak biasa sebelum terjadinya gempa. Sebagian besar memikirkan mekanisme yang mungkin pada dua hal ini.

Kini, sebuah penelitian terbaru mencoba menganalisis kembali data dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Baca juga: Kematian 323 Rusa Akibat Tersambar Petir Ubah Bentang Alam Norwegia

Peneliti yang berasal dari GFZ German Research Centre for Geosciences ini menghubungkan pengamatan pada hewan peliharaan dan ternak dengan skala dan lokasi gempa.

"Banyak makalah kajian tentang potensi hewan sebagai prekusor (pertanda) gempa, tetapi sejauh pengetahuan kami, ini adalah pertama kalinya pendekatan statistik digunakan untuk mengevaluasi data," ungkap Heiko Woith, penulis utama penelitian ini dikutip dari Science Alert, Kamis (19/04/2018).

Untuk itu, Woith dan timnya mengumpulkan 180 penelitian yang menganalisis 729 laporan perilaku aneh hewan terkait dengan 160 gempa bumi.

Mereka menganalisis meta-data penelitian-penelitian tersebut dengan memperhatikan rician seperti besar gempa, jarak, ativitas foreshock (gelombang sebelum gempa utama), dan kualitas penelitian tersebut.

Secara keseluruhan, para peneliti mencatat perilaku yang diamati berasal dari 130 spesies berbeda. Mulai dari anjing, sapi, bahkan ulat sutera.

Meski datanya terbilang melimpah, para peneliti menyimpulkan bank bukti ini mengalami keterbatasan kritis. Itu karena hampir semua penelitian, kecuali 14, didasrkan pengamatan tunggal.

Selain itu, tak adanya jadwal membuat mereka sulit mengevaluasi secara obyektif bagaimana perilaku khusus ini berbeda dengan perilaku normal. Ini membuat para peneliti tidak bisa menyingkirkan biar konfirmasi tentang pola perilaku.