Berdasarkan UU RI No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahawa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan mereka yang masih dalam kandungan.
Pernikahan dini sejatinya adalah kekerasan terhadap anak. Haknya untuk tumbuh dan berkembang menjadi terhambat.
Sistem reproduksi mereka juga belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Menikah di usia anak jelas bukan solusi menghindari zina, melainkan sebuah kemunduran dan memperburuk masalah.
Baca juga: Potret Para Pengantin Anak yang Terlupakan di India
Koordinator komunikasi dan advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Frenia Nababan melihat masyarakat Indonesia umumnya masih memiliki pemikiran 'lompat pagar' soal pacaran.
Di lansir dari kompas.com, Frenia menjelaskan bahwa tak sedikit yang menganggap berpacaran sebagai zina. Padahal, jika pacaran itu dianggap sebagai teman dekat, kemudian ditambah pengawasan dan bimbingan, justru akan terhindar dari perilaku yang tidak diinginkan.
"Orang dewasa bisa memberikan informasi apa yang boleh dan tidak," kata Frenia.
Baca juga: Terobsesi Dengan Pernikahan Ala Kerajaan Picu Masalah Kejiwaan
Aturan tersebut bisa menyangkut soal hubungan seksual yang tidak boleh dilakukan, batasan berpacaran, dan apa risikonya jika dilanggar. "Kita juga bisa ikut terlibat dalam pengawasan, tidak memberikan anak berjalan sendiri," ungkap Frenia.
Komunitas remaja
Youth Engagment Specialist Plan International, Amrullah, mengatakan, pendidikan seks sejak dini adalah kunci agar anak terhindar dari perilaku seksual beresiko.
Pendidikan tersebut bisa berupa pengetahuan dasar soal organ reproduksi laki-laki dan perempuan, bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, hingga apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang memaksa menyentuhnya.
Dengan membekali anak akan kesehatan reproduksi dan bahaya melakukan seks bebas, menurut Amrullah, akan memicu anak untuk mencari informasi lebih banyak saat ia beranjak dewasa.