Perang Bubat Sebagai Akhir dari Karir Mahapatih Terbesar Majapahit

By Galih Pranata, Kamis, 20 Januari 2022 | 12:00 WIB
Ilustrasi peristiwa Perang Bubat di Taman Citra Resmi, Purwakarta. (Cut Menas Nila Tanu Sukma Devi/Instagram)

Nationalgeographic.co.id—Gajah Mada dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai mahapatih terbaik dan terbesar dalam catatan peradaban Majapahit. Kemegahan dan kedigdayaan Majapahit, tak lepas dari peran penting sang mahapatih.

Tak sembarangan, sebelum menjadi mahapatih yang tenar seantero Nusantara, Gajah Mada memulai karirnya sebagai bekel (pengawal) di pasukan Bhayangkara. Sejak masih menjadi bekel, kontribusinya untuk Majapahit tak disangsikan lagi, hingga terpilihnya sebagai mahapatih.

Sejarah mencatat perannya dalam mempersatukan negara kepulauan di bawah panji Majapahit. Itu pun ia lakukan saat berupaya dalam menguasai Jawadwipa (sekarang Pulau Jawa) ke dalam genggamannya.

Salah satu momentum terbesarnya adalah saat munculnya gagasan untuk menguasai Jawadwipa dengan menaklukan Kerajaan Sunda. Gajah Mada dianggap sebagai aktor yang banyak terlibat dari peristiwa besar yang melibatkan Majapahit dengan Kerajaan Sunda.

"Gagasan utama dalam menaklukan Sunda adalah dengan menjalin hubungan diplomasi dan persekutuan," tulis Ayu Firmaningsih dalam skripsinya kepada UIN Sunan Ampel Surabaya, berjudul Tinjauan Historis Peristiwa Perang Bubat Tahun 1357 M dalam Manuskrip Serat Pararaton, pada 2021.

Berkat hasutan Gajah Mada, upaya diplomasi berjalan dengan baik. "Hayam Wuruk yang berusia muda, menginginkan seorang istri dan berniat mempersunting putri Sunda," tambahnya.

"Gajah Mada mencoba memanfaatkan situasi untuk menempuh jalan menaklukan kerajaan Sunda," terusnya.

Kala itu, dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk yang masih berusia 23 tahun, menginginkan seorang istri dan berniat untuk melamar putri Sunda yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi.

"Dari segi rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda, Dyah Pitaloka, sepenuhnya (ialah) urusan kasih sayang dan hubungan antara lelaki dan perempuan, tidak ada sangkut pautnya dengan politik," lanjut Ayu.

Setelah mendapat restu, Hayam Wuruk lantas mengirim utusan untuk menyampaikan surat kehormatan untuk melamar Dyah Pitaloka. Surat tersebut disampaikan oleh patih Madu kepada Prabu Linggabuana, raja yang bertahta di Kerajaan Sunda kala itu.

Baca Juga: Grogol, Pedesaan Kalangan Bangsawan Majapahit di Pinggiran Trowulan

Prabu Linggabuana dengan senang hati menerima surat tersebut, bersedia untuk menikahkan anak pertama yang ia kasihi selama ini, menikah dengan pemimpin terbesar di kerajaan paling sohor seantero Nusantara, raja Majapahit.