Makanan Tradisional Horok-Horok Menjadi Jejak Cerita Pangan Jepara

By Ratu Haiu Dianee, Jumat, 21 Januari 2022 | 12:00 WIB
horok-horok yang disajikan dengan sate kikil (Anandita Marwa Aulia)

Nationalgeographic.co.id—Makanan tradisional tidak hanya menjadi tanda ciri khas dari suatu daerah, namun juga menjadi suatu pengingat akan adanya kejadian pada masa itu. Itu sebabnya mengapa orang-orang harus membudidayakan makanan tradisional supaya tidak menghilangkan keistimewaan dari makanan tersebut, termasuk dalam cara pembuatannya yang menggunakan alat-alat tradisional.

Pada studi yang berjudul Horok-Horok Pengganti Makanan Pokok Masyarakat Jepara pada Masa Pendudukan Jepang, sebelum kedudukan Jepang di Jepara, masyarakat Jepara sudah mengonsumsi horok-horok atau makanan tradisional yang terbuat dari sagu atau tepung aren. Horok-horok ini berbentuk butiran-butiran, bertekstur kenyal, asin, dan berwarna putih kecokelatan. Pada tahun 1930 horok-horok telah dikonsumsi dan menjadi makanan sampingan bagi warga Jepara. Sebelum penjajahan Jepang, horok-horok ini hanya diproduksi di beberapa desa, seperti desa Bondo, Kedung Penjaling, dan Jodang. 

"Untuk membuat horok-horok, masyarakat dapat mengambil dari pohon aren di kebun mereka. Jika membeli atau menebang di kebun lain, masyarakat harus membayar sebesar 10 sen atau 1 rupiah per pohon aren," tulis Cornellia Sella Prasiska pada studinya.

Seiring berjalannya waktu, tahun 1985 ada beberapa warga dari desa Bondo dan Kedung Penjalin yang mulai menjual kepalan tepung aren dengan bungkusan daun pisang. Masyarakat Jepara biasa membuat horok-horok dan cendol dengan menggunakan bahan dasar tepung aren.

Hanya beberapa orang saja yang memiliki kebun pohon aren, misalnya keluarga Ibu Sudewi di daerah Kedung Penjalin. Terdapat sekitar 10 pohon aren yang tumbuh di kebun keluarga Ibu Sudewi. Pohon aren ini dijual seharga 1 rupiah, lalu ditebang, dan diambil sagu dari batangnya. Sagu tersebut diletakkan pada paso atau baskom, kemudian ditumbuk dengan lesung yang terbuat dari kayu. Sagu tersebut telah menjadi tepung lalu direndam dengan air selama 1 hari, dikeringkan dan dicuci sebanyak 3 kali, lalu diperas sarinya kemudian dikeringkan lagi. Saat membuat horok-horok, tepung disangrai atau digoreng tanpa minyak dan dikukus.

Pada masa kedudukan Jepang di kota Jepara tahun 1942, masyarakat dilarang untuk mengonsumsi nasi. Masyarakat akan diberi hukuman, bahkan hukuman mati sekalipun. Tidak ada keluarga yang boleh mengonsumsi nasi sebagai kebutuhan pangan pokok mereka, mereka harus membuat makanan pokok pengganti nasi, salah satunya adalah horok-horok. Horok-horok juga sering disebut dengan sego radio atau nasi radio yang berasal dari guyonan masyarakat Jepara ketika tidak ada nasi. Biasanya masyarakat memakannya dengan tambahan sayur dan lauk pauk seperti ikan.

Selain bermata pencaharian sebagai nelayan, masyarakat Jepara juga bekerja sebagai petani. Saat musim panen, masyarakat Jepara harus menyerahkan hasil panen mereka kepada Jepang di kuminyai atau koperasi Jepang, beras-beras tersebut dikumpulkan untuk makan tentara Jepang, kemudian mendoktrin bahwa nasi adalah makanan “kelas satu” dan hanya dikonsumsi oleh pihak Jepang. Pendoktrinan ini sengaja dilakukan karena pada masa itu kebutuhan nasi pada tentara Jepang di wilayah Pasifik tidak tercukupi.  

Perjuangan yang sangat besar untuk memperoleh beras pada hasil panen masyrakat Jepara. Masyarakat hanya dapat membawa pulang sedikit menir atau beras yang bentuknya tidak utuh untuk dimasak, terkadang pula masyarakat tidak diperbolehkan untuk membawa pulang menir-menir tersebut. Ini membuat masyarakat Jepara harus menyelundupkan beras di lumbung bawah tanah rumah mereka, namun pada akhirnya mereka ketahuan oleh tentara Jepang lalu diambil paksa dan mendapatkan hukuman.

Pada wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan Ibu Purwati, warga Jepara yang merasakan penjajahan Jepang, pada masa inilah yang menjadi kesedihan besar bagi keluarga-keluarga di Jepara, mereka harus memberikan horok-horok untuk anak-anak mereka, walau horok-horok termasuk makanan yang sehat karena berasal dari bahan alami, namun orangtua di Jepara menganggap nasi merupakan makanan pokok yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan anak-anak mereka.

Beberapa cara dilakukan keluarga Ibu Purwati untuk dapat makan dengan nasi, bapak dari Ibu Purwati menyembunyikan beras di lumbung bawah tanah dan menguburnya di dekat sawah. Saat mengambil beras, bapak dari Ibu Purwati mengenakan pakaian compang-camping atau yang sudah robek-robek supaya tentara Jepang tidak curiga. Beras-beras tersebut dibawa dan dimasukkan ke dalam kedua saku bajunya. Sampai di rumah, beras tadi ditaruh di atas tampah atau nampan untuk beras yang terbuat dari bambu. Setelah dimasak, nasi diletakkan di bawah horok-horok supaya tidak ketahuan oleh tentara Jepang saat patroli.    

Baca Juga: Sering Menyisakan Makanan? Ini Dampaknya Bagi Lingkungan dan Kehidupan Manusia