Nationalgeographic.co.id—Adanya kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah menerapkan sistem onderneming dan tanah partikelir di Hindia-Belanda menjadi sebuah babak baru dalam sejarah sosial dan ekonomi perkebunan di Indonesia.
"Perluasan di bidang perkebunan era tersebut telah mencapai keberhasilan dan pencapaian yang besar terhadap perekonomian Pemerintah," tulis Darini dan tim penelitinya.
Ririn Darini bersama Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas dan Mudji Hartono, menulis dalam jurnal Mozaik.
Hasil penelitiannya dituangkan ke dalam jurnal berjudul Zuiker Onderneming di Kabupaten Klaten 1870-1942: Pengaruhnya dalam Bidang Sosial dan Ekonomi, yang dipublikasikan pada tahun 2019.
Keberhasilan Hindia-Belanda pada sektor industri pabrik gula, terjadi juga di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Sejak awal tahun 1800-an, telah banyak berdiri pabrik gula Belanda di kawedanan Klaten, Gondangwinangoen, Pedan, dan beberapa kawedanan lainnya.
Sekitar 25-40% wilayah Klaten merupakan area onderneming (perkebunan) yang disewa dari petani lokal. Perjanjian persewaan tanah bagi perusahaan perkebuan dibuat dalam sebuah akte yang diketahui oleh bupati.
"Pada mulanya masyarakat mengangkut hasil panen menggunakan transportasi tradisional, misalnya cikar dan gerobak yang ditarik menggunakan tenaga kuda dan sapi," sambung Darini dan tim.
Setelah maraknya perusahaan dan perkebunan mulai didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, maka dibuatlah transportasi yang mempermudah pengangkutan barang-barang hasil perkebunan. Begitu juga, jalan-jalan yang rusak, mulai diperbaiki.
Selain untuk memperbaiki jalan yang telah rusak dan telah ada sebelumnya, pemerintah juga memulai untuk membangun stasiun pengangkut barang berupa kereta api, beserta dengan lintasannya.
"Pada tahun 1862, perusahaan swasta yang bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), memprakarsai pembangunan rel kereta api," terusnya. Pada 2 Maret 1872, jalur Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) sejauh 58 km, diresmikan.
Pada permulaannya, jalur kereta api dibangun untuk mengangkut segala hasil perkebunan tebu, namun seiring berjalannya waktu, stasiun kereta api kemudian juga mengangkut penumpang manusia dan menjadi lebih komersil.
Transportasi kereta api, selain digunakan sebagai alat angkut dan distribusi hasil perkebunan, juga digunakan untuk mobilitas masyarakat, baik bagi golongan Eropa maupun Bumiputera.
Dengan dibukanya perusahaan perkebunan di beberapa daerah di Jawa, termasuk Klaten, hal ini berakibat atau memberikan dampak dalam bidang ekonomi bagi masyarakat, khususnya petani.
"Salah satu dampak ekonomi yang ditimbulkan dari keberadaan perusahaan perkebunan adalah terciptanya kesempatan kerja," ungkapnya.
Masyarakat menjadi bagian dari pekerja profesional, meskipun pada kenyataannya, upah kerja yang mereka terima merupakan upah kerja yang terbilang rendah.
Di samping ramainya para tenaga kerja yang bekerja di antara pabrik-pabrik gula, lantas dimanfaatkan pemerintah untuk membuka dan merevitalisasi pasar-pasar di sekitar kawasan industri.
"Pada tahun 1918, pasar-pasar yang terdapat di sekitar perusahaan perkebunan di Klaten seperti di Pedan, Pandansimping, Jatinom, dan Delanggu telah direnovasi," pungkasnya.
Beberapa pasar dibuka, mulai dari pasar tradisional hingga toko-toko modern yang membangkitkan gairah ekonomi masyarakat Klaten di kawasan perindustrian pabrik gula.
Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa