Praktik memiliki selir juga terjadi di peradaban Yunani kuno dan Romawi. Di Tiongkok kuno, pergundikan adalah praktik kompleks. Di peradaban tersebut para selir diberi peringkat sesuai dengan tingkat kaisar dengan mereka.
Praktik pergundikan juga terjadi di era kolonial Hindia Belanda. Para pejabat dari Belanda terbiasa mengambil selir wanita di Nusantara yang kemudian disebut sebagai nyai. Praktik ini didokumentasikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia dengan tokohnya yang terkenal: Nyai Ontosoroh.
Dr. Frances Gouda dalam bukunya berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, terbitan 1995, menjelaskan sekelumit cerita kehidupan para Nyai. "Mereka hidup dalam keseharian yang penuh dengan kerja berat, melayani nafsu seksual layaknya wanita murahan, dan beragam penghinaan lainnya," tulisnya.
FX. Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya dalam tulisannya berjudul Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret 'Nyai' Hindia Belanda, Abad XVII-XX, publikasi tahun 2014, meyebut bahwa para Nyai memiliki peran positif juga. "Meskipun banyak dipandang sebelah mata, di balik segala kesan negatif yang disandangnya, Nyai memiliki peran positif dalam kehidupan bermasyarakat yakni sebagai cultural mediator antara budaya Barat dan Timur," tulis mereka.
Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942. Di era penjajahan Jepang ada praktik perbudakan seks yang lebih kejam yang disebut jugun ianfu.
Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki