Membedah Alasan dan Isi Kepala Seseorang yang Menjadi Ekstremis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 2 Februari 2022 | 17:00 WIB
Banyak orang yang menjadi ekstremis demi membela apa yang diyakininya secara mati-matian. Mengapa bisa demikian? (Paolo Pellegrin/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Esktremis bisa didefinisikan sebagai orang yang ekstrem atau yang melampau kebiasaan untuk membela atau menuntut sesuatu. Definisi ini kerap disampaikan oleh keamanan dan pemerintahan sebagai sesuatu yang harus ditangkal seperti radikalisme dan terorisme.

Tidak usah terlalu lama menunggu kasus terorisme, ekstremisme bisa Anda temukan di sosial media ketika terdapat kelompok yang berdebat atau berujar kebencian hanya demi membela sesuatu yang diyakini terlalu berlebihan.

Padahal, dalam KBBI ekstremis juga didefinisikan para pejuang pada masa perang kemerdekaan untuk melawan Belanda. Pada konteks sejarah pun, ekstremis juga diwanti-wanti oleh kolonial karena akan mewujudkan separatisme atau kemerdekaan yang terlepas dari Kerajaan Belanda.

Bertahun-tahun, banyak ilmuwan dari berbagai disiplin yang meneliti tentang ekstremis. Para peneliti di RAND Corporation lewat studinya adalah salah satunya dalam buku elektronik yang diterbitkan pada 2021 berjudul Violent Extremism in America.

Mereka mewawancarai berbagai kelompok ekstrem di Amerika Serikat seperti nasionalis garis keras, kulit putih, ekstremis Islam, beserta anggota keluarga dan teman-teman mereka.

"Sampel kami sangat heterogen, mencakup kasus radikalisasi yang terjadi selama beberapa dekade, di berbagai wilayah geografis, dan dengan berbagai kelompok dan ideologi," terang para penulis di dalam buku. 

Mereka menyimpulkan ada tiga karakteristik utama yang menjadi latar belakang seseorang bisa menjadi ekstremis. Pertama, adanya ketidakstabilan keuangan yang membuat seseorang bisa bergabung dengan organisasi ekstremisme.

Kemudian, masalah kesehatan mental seperti kemarahan, trauma, penyalahgunaan narkoba dan depresi, serta masalah fisik. Ekstremisme lewat kelompok juga bisa memanfaatkan seseorang yang rentan kesehatan mentalnya. Ketika seseorang masuk ke dalamnya, kelompok bisa memperkuat narasinya dengan membatasi akses informasi atau keadaan yang menantang konstruksi ideologis.

Dan terakhir, faktor sosial seperti marginalisasi, vikitimisasi, dan stigma. Misalnya, ekstremisme Islam yang berkembang di negara mayoritas non-Muslim yang biasanya timbul akibat stigma yang diberikan.

"Tindakan hukum, pembatasan berpendapat, dan wacana publik yang mengudang kembarahan dapat menjadi bumerang dan meningkatkan dorongan untuk radikalisasi," lanjut para peneliti.

Seorang letnan berpatroli di barak jambon milik unit antiterorisme perempuan Yaman di sebuah pangkal (Zika Zakiya)

Nafees Hamid, ahli kogntif di University College London di Inggris, dan anggota International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) di Den Haag, menjabarkan bagaimana isi pikiran seseorang bisa berubah secara ekstrem.