Hotel des Indes: Dari Multatuli, Wallace, Sampai Tempat Bunuh Diri

By Utomo Priyambodo, Selasa, 15 Februari 2022 | 10:00 WIB
Hotel des Indes tahun 1935. (KILTV)

Nationalgeographic.co.id—Hotel des Indes adalah hotel termegah di Batavia pada masanya. Hotel ini pernah menjadi tempat meng‌inap banyak tokoh besar dari berbagai negara. Bahkan, hotel ini juga pernah jadi saksi peristiwa besar yang menentukan nasib bangsa Indonesia: Perjanjian Roem-Royen pada 1949.

Dibangun pada abad ke-19 di atas tanah seluas 3,1 hektare, hotel ini berdiri di kawasan Harmoni, tepatnya Jalan Gajah Mada. Dahulu, hotel ini pernah berfungsi sebagai tempat perjamuan negara Hindia Belanda. Bahkan, hotel ini menjadi daya tarik bagi siapa pun yang berpelesir ke Batavia, terutama ke wilayah Molenvliet yang sekarang telah menjadi Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada.

Hotel ini juga pernah jadi tempat perjamuan tamu-tamu negara Indonesia sebelum dibangunnya Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada 1962. Pada 1955 para kepala negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) tinggal di Hotel Des Indes Jakarta, meski KAA berlangsung di Bandung.

Hotel ini beroperasi dengan nama Hotel des Indes sejak 1856 hingga tahun 1960. Sebelum bernama Hotel des Indes, tempat ini telah menjadi hotel dengan nama lain yang sempat berganti nama beberapa kali.

Hotel des Indes di Molenvliet. (Arsip Nasional)

Baca Juga: Riwayat Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng di Salatiga 1921-1968

Jauh sebelum itu, sekitar tahun 1760, lima persil atau kavling tanah untuk lokasi hotel ini masih dimiliki oleh beberapa orang yang berbeda. Mereka adalah Arnoldus Constantyn Mom untuk persil nomor 389, Adriana Johanna Bake (Wevrouw van der Parra) untuk persil nomor 390 dan 391, Reiner de Klerk untuk persil nomor 392, dan Andriaan Moens untuk persil nomor 393.

Pada tahun 1824 tanah dan bangunan di persil nomor 392 dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1828, pemerintah Hindia Belanda menjadikan tanah dan bangunan ini sebagai sekolah asrama putri tapi kemudian sekolah asrama ini justru terabaikan.

Pada 1829, tanah dan bangunan di atas lokasi ini dibeli orang Prancis bernama Surleon Antoine Chaulan yang mendirikan sebuah hotel yang ia namai Hotel de Provence. Nama de Provence diambil dari nama daerah di selatan Prancis yang merupakan daerah asal ayah Chaulan.

Hotel des Indes sekitar kurun 1902-1905. (Nationaal Museum van Wereldculturen)

Pada 1838-1839, Etienne Chaulan, kakak Surleon Antoine Chaulan, mengakuisisi persil-persil lain di sekitar persil ini. Tahun 1845, Etienne Chaulan mengambil alih Hotel de Provence dari tangan adiknya dan memperluas kawasan hotel ini.

Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis Denninghoff, hotel ini berganti nama menjadi Hotel Rotterdam, mengambil nama daerah di selatan Belanda. Dan tahun 1852, hotel ini dibeli orang Swiss bernama François Auguste Emile Wyss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan atau anak perempuan dari Surleon Antione Chaulan.

Ketika hotel ini masih dikelola oleh Wyss, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli pernah berkunjung ke sana bersama keluarganya. Dia adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar, novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penguasa terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Baca Juga: Mencari Jejak Max Havelaar di Lebak

Kunjungan Multatuli ke hotel ini tercatat dalam sebuah koran pemerintah Hindia Belanda. "Dalam Javasche Courant yang tebit pada 30 April 1856, itu ada nama Eduard Douwes Dekker dan famili dari Lebak (Banten). Jadi, Multatuli pernah menginap di hotel ini ketika masih bernama Hotel Rotterdam," tutur Nadia Purwestri, Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, dalam acara Plesiran Tempo Doeloe (virtual tour): "Matinja Hotel des Indes" yang diselenggarakan oleh Sahabat Museum pada Minggu, 13 Februari 2022.

Pada 1 Mei 1856, Wyss mengganti nama hotel ini menjadi Hotel des Indes. "Kalau menurut ceritanya, Multatuli lah yang menyarankan agar nama hotel ini diganti dengan nama yang lebih menggugah atau lebih menjual. Soalnya nama Hotel Rotterdam kurang menjual," kata Nadia.

Jadi, Wyss mengubah nama Hotel Rotterdam menjadi Hotel des Indes atas usulan Multatuli. Dan dengan nama Hotel des Indes, hotel ini akhirnya kembali berbau nama Prancis yang dianggap lebih menjual.

Hotel des Indes tahun 1910. (Tropenmuseum)

Keberadaan hotel ini sempat diiklankan di koran Java-bode terbitan 14 Mei 1856. Menariknya, dalam koran berbahasa Belanda ini, keberadaan hotel tersebut diiklankan dengan narasi berbahasa Prancis.

"Memang waktu itu segala sesuatu yang berbaha Prancis dianggap keren dan hits," ucap Nadia.

Selain terkenal dengan kemegahan bangunan di area yang banyak pohon rindangnya, Hotel des Indes juga terkenal kemewahan makanan rijsttafel-nya. Alfred Russel Wallace, penjelajah sekaligus ilmuwan terkenal, mengaku terpesona dan puas dengan pelayanan hotel ini saat dirinya mengunjugi Batavia pada tahun 1861.

"Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. ... Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya dengan harga per hari yang pantas," tulis Wallace dalam The Malay Archipelago (1869).

Baca Juga: Selidik Rijsttafel, Sajian Bersantap Kelas Atas di Hindia Belanda

John T. McCutcheon menulis pada 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Lebih lanjut, ia bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel ini.

"Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. ... Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi," tulisnya.

Ruang makan Hotel des Indes. (Tropenmuseum)

Meski terkenal sebagai hotel yang mewah, ada cuplikan tragis juga mengenai Hotel des Indes. "Pernah masuk koran, berita kematian yang terjadi di Hotel des Indes," ungkap Nadia. Berita kematian bunuh diri itu masuk adala koran Java-bode terbitan 1 Juli 1857.

"Bunyi beritanya kira-kira begini: Pada pukul 6 pagi tanggal 27 hari ini (maksudnya 27 Juni 1857), pelayan Bapak W.H.B (pria berinisial W.H.B) tinggal di Hotel des Indes membangunkan tuannya sesuai dengan perintah yang diterima tadi malam sebelumnya, tetapi tidak menerima jawaban atas ketukan di pintu kamar. Terkejut dan khawatir tetang hal ini, dia kemudian memperingatkan pemilik hotel. Dan setelah pintu dibuka, pria tersebut ditemukan terbaring tak bernyawa di tempat tidur setelah bunuh diri dengan empat tusukan di dada kiri. Dia juga memlintir dasi hitam dengan sangat erat di lehernya. Belum diketahui penyebab bunuh diri ini."

Pada masa awal kemerdekaan, Hotel des Indes kemudian dianeksasi dan pemerintah Indonesia kemudian mengganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia pada 1960. Namun, hotel itu terus mengalami penurunan pendapatan, terlebih pasca-1962. Saat itu, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Hotel Indonesia yang menjadi saingan berat hotel tiga zaman itu.

Dan mirisnya, pada 1971, bangunan hotel ini akhirnya dibongkar untuk dijadikan kawasan pertokoan Duta Merlin. Pertokoan Duta Merlin dibangun sejak 1974 dan rampung pada 1976, tepatnya diresmikan pada Oktober 1976.

Mengapa bangunan Hotel des Indes yang bersejarah itu dibongkar dan justru dijadikan kawasan pertokoan? Nadia mengatakan bahwa Hotel des Indes dianggap oleh sebagian orang sebagai sisa-sisa lambang kolonialisme sehingga dirobohkan.

Selama masa Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Indonesia pun, hanya segelintir orang kaya saja yang bisa atau diperbolehkan masuk ke hotel mewah ini. Pada akhirnya hal ini memicu kecemburuan sosial juga.

Hotel des Indes tahun 1945-1948. (Tropenmuseum)

Selain itu, pada tahun 1970-an para pebisnis di Indonesia juga sedang gencar-gencarnya membangun pusat pertokoan atau pusat perbelanjaan sehingga perlu tempat sekaligus izin untuk pembangunan kawasan baru lainnya. "Karena pusat perbelanjaan (di Jakarta) saat itu baru ada Sarinah. Tempat-tempat belanja lainnya masih berupa pasar dan pasar," papar Nadia.

Di antara dua alasan itu, menurut Anda, manakah yang lebih masuk akal: Pemerintah Indonesia merobohkan Hotel des Indes untuk menghapus simbol kolonialisme, atau lantaran lobi-lobi dari para pengusaha?

Apa pun yang terjadi di balik perobohannya, hidup dan matinya Hotel des Indes tetaplah tercatat sebagai bagian sejarah Jakarta, bahkan Indonesia. Bahkan, keberadaan hotel ini juga sempat dicatat dan ditulis oleh beberapa tokoh mancanegara. Hotel des Indes memang telah mati, tapi riwayat dan kenangan yang pernah terjadi di dalamnya tetap hidup hingga bertahun-tahun kematiannya.

Ade Purnama, pendiri Sahabat Museum, mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa webinar Plesiran Tempo Doeloe ini merupakan gelaran ketujuh.

Edisi pertama jalan-jalan daring ini bertajuk Mengenang 80 tahun Serangan Jepang ke Pearl Harbor yang digelar pada pertengahan Desember silam. Berikutnya, berturut-turut menampilkan tajuk Perebutan Pala di Banda Neira, Membinasakan Kota Jayakarta, Peroesahaan Boplo membangoen Kondang-Dia, Kehidoepan di Tepi Kanal Molenvliet, Terbentoeknja Kampoeng Tjina Glodok, dan Matinja Hotel des Indes.

Adep, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa webinar Plesiran Tempo Doeloe mendatang bertajuk Kebajoran Bikinan CSW, yang digelar pada 27 Februari 2022.

"Alasan Sahabat Museum membuat forum ini agar dapat terus berkarya dalam memberikan kisah sejarah tempo doeloe kepada masyarakat di masa pandemi ini," pungkasnya.

Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial