Bagaimana Manuver Perempuan Indonesia Merespons Dua Tahun Pagebluk?

By National Geographic Indonesia, Senin, 21 Februari 2022 | 09:07 WIB
Hello Labour #11 GERJI (Buruh Menjahit) karya Yaksa Agus, tinta di atas kertas, 27 cm X 39 cm, 2020. Koleksi Studio Bodo, Bantul, D.I. Yogyakarta. Selama pandemi, perempuan bertransformasi menjadi sosok kohesif rumah tangga, agen pembangun ketahanan sosial, dan aktivis lintas ruang. (Yaksa Agus)

Mereka bersiasat untuk memasarkan barang dagangan melalui media sosial, salah satunya. Misal, perempuan dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, membuat akun media sosial bertajuk Ute Dite sebagai media jual beli sayuran dari petani-petani setempat. Ute Dite dalam bahasa Manggarai berarti “sayur mayur kita.”

Ada kesan yang menggugah minat insani selama penelitian ini berjalan. Banyak hal-hal menyedihkan terkait kekerasan fisik dan seksual, tekanan psikologis dan kesulitan ekonomi. Namun tak kurang pula cerita-cerita menggembirakan dan melegakan, bahkan inspiratif. Meski rentan, para perempuan bermanuver dan bertransformasi.

Ketika media massa memberitakan bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling terdampak pagebluk, maka dalam riset ini para peneliti bisa menyelami dan mengamati beberapa detail. Dalam situasi yang buruk selama pagebluk, perempuan bergerak untuk mengatasi banyak hal di tengah tantangan ideologi gender yang gigih.

Hello Labour #11 GERJI (Buruh Menjahit) karya Yaksa Agus, tinta di atas kertas, 27 cm X 39 cm, 2020. Koleksi Studio Bodo, Bantul, D.I. Yogyakarta. (Yaksa Agus)

Secara umum, unjuk kerja lintas ruangnya (daring dan luring) meningkat. Seperti yang ditunjukkan oleh para perempuan amatan di Manado yang semakin lincah melintas ruang untuk bermanuver mendukung ekonomi keluarga: daring-luring, domestik-publik. Temuan serupa juga dijumpai dalam kehidupan aktivis perempuan berbasis keagamaan di Manggarai. Meskipun geraknya tidak seleluasa sebelum pandemi, mereka membangun ketahanan sosial dengan menggunakan platform daring.   

Perempuan yang berada di dalam kelompok agama atau kepercayaan, maupun sub-etnik minoritas—Ahmadiyah, Sunda Wiwitan dan Hakka di Aceh—justru mampu melebarkan ruang gerak sosial dengan terlibat di kegiatan-kegiatan solidaritas. Mereka merupakan aktor yang turut membangun ketahanan sosial di tengah situasi krisis ini.

Kenyataan ini juga membantu mereka lepas dari pandangan dan perilaku diskriminatif terhadap dirinya. Tim peneliti juga menjumpai kasus yang hampir terjadi di semua kelompok amatan bahwa selain sebagai agen perekat sosial, mereka juga merupakan perekat dan penjaga ketahanan di area domestik, atau rumah tangga.

Baca Juga: Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang

Baca Juga: Ternyata, Perempuan di Masa Majapahit Lebih Bebas Berekspresi

Kendati kita sudah terbiasa hidup dalam situasi pagebluk, perempuan masih menghadapi situasi yang rumit.

Bagaimana tidak? Ketika keadaan semakin memburuk, yaitu dengan meningkatnya jumlah orang yang terpapar dan virus masuk ke lingkar dalam rumah tangga, peran mereka bertambah. Mereka mengambil peran baru sebagai perawat, yang boleh dibilang 'ahli gizi’ dan 'psikolog’ dadakan.

Para perempuan ini merawat anggota keluarganya yang menjalani karantina maupun isolasi mandiri di dalam rumah. Mereka menyediakan makan dan minum, menyiapkan obat-obatan, menguatkan mental, seraya mengelola agar virus yang telah masuk ke rumah tidak menyebar ke anggota keluarga yang lain.

Perempuan menghadapi situasi yang semakin berat apabila perempuan itu sendiri terinfeksi virus dan harus menjalani karantina atau isoman di rumah. Mereka harus merawat dirinya yang sakit, sekaligus harus tetap menjaga anggota keluarga lainnya dengan gerak yang serba terbatas. Ketidakpastian akhir pandemi telah memaksa para perempuan untuk tetap tangguh dan tangkas menghadapi situasi yang terus berubah.

Penelitian ini menampakkan peran perempuan dalam keluarga dan lingkungan sosialnya yang perlu diapresiasi. Hal ini harus diikuti dengan dukungan dari semua pihak agar tidak berhenti pada apresiasi semata. Kolaborasi antar anggota keluarga dan antar anggota masyarakat di sekitarnya merupakan solusi untuk bertahan dalam tantangan dan ancaman pandemi. Kuncinya, dalam penelitian ini, adalah berbagi peran antara perempuan dan laki-laki.

Kami telah memaparkan hasil penelitian ini yang berjudul “Women, Religion and COVID-19: Cohesive Agency, Resilience-Building and Inter-spatial Performance” dalam ISRL (International Symposium on Religious Life) 2020, di Bogor. Dalam sesi diskusi, penanggap memberikan masukan yang sangat penting bahwa, “Studi tentang perempuan seperti ini harusnya mengkaji pula perilaku laki-laki. Tak bisa berdiri sendiri. Bagaimana mungkin mengubah situasi perempuan menjadi lebih baik jika para pria tidak berubah?”